Thursday, June 24, 2010

Let's Bicara In Bahasa Indonesia!

Akhirnya, sampai langkah kaki saya di Jakarta- kota kelahiran dan tempat saya dibesarkan. Saya sudah rindu teman teman, keluarga dan makanan serta segala detail detail khas nya.

Memasuki apartemen yang saya sewa 1,5 bulan, koper terseret, anak saya tarik jalan menuju lift. Dibelakang terdengar suara satu keluarga bercakap cakap
« Mommy, i want to go to swimming pool!!! » suara teriakan anak laki kecil
« Yes, i'm agreee with him! Let's go there! » suara timbalan anak perempuan yang lebih besar
« OK. But NOT NOW! » suara laki laki dewasa
« Yes, LISTEN TO YOUR DADDY. We are going to have lunch first at home§ » suara perempuan!
Aih, refleks saya berpikir. Mungkin itu keluarga expatriate yang saya tahu banyak bertempat tinggal di apartemen ini.. Meski, sejujurnya saya lebih rindu bahasa Indonesia yang lebih mendukung perasaan saya yang sedang pulang kampung, 2 tahun sekali.

Leher saya pun menengok ke belakang. Astaga keluarga itu tipikal berwajah Indonesia. Sama dengan saya. Indonesia totok!

Apa jangan jangan selama 2 tahun ini, tanpa saya ketahui, Indonesia sudah di jajah Ingris atau Amerika atau Australia? Kok orang Indonesia dalam keluarganya saja berbahasa Ingris...

Oh no! Saya mau mudik. Saya tidak rela negeri saya di jajah! Bisakah saya mendapatkan negeri saya sendiri, dan bukan negeri jajahan atau bukan pula liburan ke Ingris.....

Well, pikiran saya itu berlebihan ternyata. Mereka hanya dari keluarga yang anaknya disekolahkan di sekolah Internasional yang berbahasa Ingris dan mengharuskan dalam keluarga berbahasa Ingris juga, untuk mendukung kelancaran berbahasa anak anak mereka. Banyak keluarga yg menerapkan sistem ini. Fiuh.

Namun perasaan tenang belum juga datang, saya malah sibuk membayangkan segelintir generasi Indonesia yang tengah terbentuk.

Sebuah generasi dimana bahasa ibu mereka adalah bahasa Ingris. Bahasa ke dua adalah bahasa Indonesia yang dipelajari dari interaksi mereka dengan orang di lingkungan sekitar dan yang paling sering adalah dengan para pembantu dan babysitter mereka. Dari informasi salah satu teman yang melakukan hal ini, anak anak mereka 'pandai' membedakan teman bercakapnya. Dengan mereka yang memakai uniform/seragam langsung berbahasa Ingris. Aih. Bila di negara rantau tempat saya tinggal, orang membedakan bahasa mereka berdasarkan ras dan negara asal, tapi di kalangan generasi ini, pembedaan dilakukan berdasarkan penampilan atau mungkin kelas sosial... buat saya sih menyeramkan.. generasi ini tanpa sadar melakukan pembedaan orang lain berdasarkan atribut sosial mereka. Belajar diskriminasi dan bahasa Indonesia seolah bukan lagi menjadi bahasa ibu mereka, yang dipelajari dari ibu mereka. Dan seolah bahasa Indonesia bukan lagi suatu kebanggaan...

Mungkin juga bukan kiamat bagi bahasa Indonesia. Apakah kemudian arahnya akan seperti Singapora atau Malaysia, dimana semua orang berbicara bercampur antara Melay dan Ingris? Kedua bahasa sama kuat. Benarkah akan begitu? Sebelumnya, mari kita lihat perbedaan kita dengan kedua negara tersebut. Keunikan Indonesia adalah penduduknya sangat bangga dengan segala yang berbau luar negeri. Parfum gue dari Paris. Kalau cari sepatu yang bikinan Italy yang keren. Bahkan untuk barang yang jelas jelas tiruan saja, orang masih bisa memilih 'yang ini bagus nih, bikinan Hongkong!'. Sangat jauh dari sikap orang Jepang, yang pernah saya temui di sini 'Kalau produk Jepang, baru deh tenang, percaya sama kualitasnya soalnya'. Juga seorang teman dari Jerman. Dan sepertinya, orang Singapura dan Malaysia tidak punya masalah dengan penerimaan terhadap identitas mereka. Jadi, Berdasar anggapan menginternasional generasi baru ini, beresiko bahasa Indonesia menjadi bukan pilihan utama. Tidak sadarkah bahwa anggapan ini perlahan akan semakin menjauhkan kebanggaan atas bangsa sendiri... Jangan sampai nasib bahasa Indonesia seperti Produk Indonesia yang dahulu harus dilakukan promosi pada penduduknya sendiri: Cintailah Produk Indonesia --- Cintailah bahasa Indonesia.

Sepertinya imaginasi ini diperkuat oleh kontak kami selanjutnya dengan para penghuni saat jajan bubur ayam di pagi hari. Seorang pria trendy dalam baju olah raga menegur anak saya yang saat itu kulitnya cukup terang dan mungkin setengah mukanya mencerminkan kalau ayahnya orang kulit putih.
« Hello, what is your name? »
« Sorry, dia nggak ngerti bahasa Ingris » jelas saya
« Apa! Nggak ngomong bahasa Ingris? Terus pake bahasa apa dong? » tanyanya dengan muka heran.
« Indonesia »
« cuma bahasa Indonesia? »tanya lagi dengan alis yang menyengit heran seperti nggak rela kalo anak saya cuma bisa bahasa Indonesia
« sama Prancis » kata saya akhirnya
dan akhirnya tampangnya berubah lega. Peristiwa ini sering kali terjadi.

Seharusnya saya murni berpikir kalau anak saya saat itu keliatan bule banget, jadi nggak logis kalo cuman bisa satu bahasa saja, tetapi kenapa kok rasanya cemas saja. Soalnya begini... Saya itu biar tinggal di luar negeri tetap berusaha bicara Indonesia sama anak saya. Selain memanfaatkan kapasitas anak untuk menyerap bahasa yang beragam (yg juga mungkin alasan orang tua itu berbicara bahasa Ingris pada anak mereka), saya mau anak saya memiliki ketertarikan terhadap Indonesia yang dimulai dengan mengenal bahasanya. Juga supaya dia besar nanti dia akan bisa berkomunikasi dengan sesama orang Indonesia bila sedang mudik. Tetapi melihat gerombolan generasi ini, kebayang anak saya akan bertanya « Mama, kapan aku bisa praktek belajar bahasa Indonesia, disini semua orang kok ngomong Ingris? »

Haruskah saya berkata « Mending Kamu ke kampung kampung Nak, atau ke daerah. Di tempat yang nggak banyak sekolah Internasionalnya. Atau coba mulai belajar membedakan penampilan orang Indonesia yang Kamu ajak ngomong »

Guys, Let's Bicara in Bahasa Indonesia!

notes: setelah sempat terpikir betapa sinisnya tulisan diatas, adanya pembahasan tentang kecenderungan org indonesia berbicara ingris di Jakarta post, cukup membuat saya tidak sendiri.link:
http://www.nytimes.com/2010/07/26/world/asia/26indo.html?_r=1

No comments: