Friday, June 25, 2010

Tanda Penuaan

Tanda penuaan seperti uban, loyo dan segala gejala fisik, sih pengetahuan umum. Jadi jarang keluyuran, mungkin efek dari kehidupan yg mulai butuh monotonitas. Nah, efek dari semua itu, yang menjadi salah satu tanda penuaan yang baru saya temukan dua bulan lalu adalah: lupa terhadap hal yang amat sangat digandrungi sewaktu muda.

Penemuan terjadi pada pukul 23.30 malam. Saya dan suami sedang di duduk duduk di salah satu bar tempat kami nongkrong dulu di Jakarta. Secara fisik, kami memang paling terlihat tua, tapi itu signal yang biasa kami abaikan. Kami terbiasa merasa berumur 10 thn lebih muda. Kemudian, setelah saya pesan sesuatu, muncullah masalah yang membuat kami tidak bisa lagi berkelit tentang umur real kami. Saking beratnya masalah ini, sampai-sampai saya harus menelpon sohib saya yang insomnia untuk mendapat jawabnnya.

'Bal. Gue telp jam segini karena ada satu hal yang mau gue tanyain.'
'Hai say. Apa tuh?' jawab dia ceria. Menunggu kejutan
'Ini Tequila gimana urutannya ya: Garam, teguk, jeruk atau Jeruk, teguk, garam?'
'Hahaha. Udah jarang dugem ya bo!'
'Ho'oh udah tua ternyata'
'Jadi. Garam, teguk, jeruk. Iya kan Nyet!,' Ternyata dia juga nanya pacarnya. haha.

Umur oh Umur

Thursday, June 24, 2010

Let's Bicara In Bahasa Indonesia!

Akhirnya, sampai langkah kaki saya di Jakarta- kota kelahiran dan tempat saya dibesarkan. Saya sudah rindu teman teman, keluarga dan makanan serta segala detail detail khas nya.

Memasuki apartemen yang saya sewa 1,5 bulan, koper terseret, anak saya tarik jalan menuju lift. Dibelakang terdengar suara satu keluarga bercakap cakap
« Mommy, i want to go to swimming pool!!! » suara teriakan anak laki kecil
« Yes, i'm agreee with him! Let's go there! » suara timbalan anak perempuan yang lebih besar
« OK. But NOT NOW! » suara laki laki dewasa
« Yes, LISTEN TO YOUR DADDY. We are going to have lunch first at home§ » suara perempuan!
Aih, refleks saya berpikir. Mungkin itu keluarga expatriate yang saya tahu banyak bertempat tinggal di apartemen ini.. Meski, sejujurnya saya lebih rindu bahasa Indonesia yang lebih mendukung perasaan saya yang sedang pulang kampung, 2 tahun sekali.

Leher saya pun menengok ke belakang. Astaga keluarga itu tipikal berwajah Indonesia. Sama dengan saya. Indonesia totok!

Apa jangan jangan selama 2 tahun ini, tanpa saya ketahui, Indonesia sudah di jajah Ingris atau Amerika atau Australia? Kok orang Indonesia dalam keluarganya saja berbahasa Ingris...

Oh no! Saya mau mudik. Saya tidak rela negeri saya di jajah! Bisakah saya mendapatkan negeri saya sendiri, dan bukan negeri jajahan atau bukan pula liburan ke Ingris.....

Well, pikiran saya itu berlebihan ternyata. Mereka hanya dari keluarga yang anaknya disekolahkan di sekolah Internasional yang berbahasa Ingris dan mengharuskan dalam keluarga berbahasa Ingris juga, untuk mendukung kelancaran berbahasa anak anak mereka. Banyak keluarga yg menerapkan sistem ini. Fiuh.

Namun perasaan tenang belum juga datang, saya malah sibuk membayangkan segelintir generasi Indonesia yang tengah terbentuk.

Sebuah generasi dimana bahasa ibu mereka adalah bahasa Ingris. Bahasa ke dua adalah bahasa Indonesia yang dipelajari dari interaksi mereka dengan orang di lingkungan sekitar dan yang paling sering adalah dengan para pembantu dan babysitter mereka. Dari informasi salah satu teman yang melakukan hal ini, anak anak mereka 'pandai' membedakan teman bercakapnya. Dengan mereka yang memakai uniform/seragam langsung berbahasa Ingris. Aih. Bila di negara rantau tempat saya tinggal, orang membedakan bahasa mereka berdasarkan ras dan negara asal, tapi di kalangan generasi ini, pembedaan dilakukan berdasarkan penampilan atau mungkin kelas sosial... buat saya sih menyeramkan.. generasi ini tanpa sadar melakukan pembedaan orang lain berdasarkan atribut sosial mereka. Belajar diskriminasi dan bahasa Indonesia seolah bukan lagi menjadi bahasa ibu mereka, yang dipelajari dari ibu mereka. Dan seolah bahasa Indonesia bukan lagi suatu kebanggaan...

Mungkin juga bukan kiamat bagi bahasa Indonesia. Apakah kemudian arahnya akan seperti Singapora atau Malaysia, dimana semua orang berbicara bercampur antara Melay dan Ingris? Kedua bahasa sama kuat. Benarkah akan begitu? Sebelumnya, mari kita lihat perbedaan kita dengan kedua negara tersebut. Keunikan Indonesia adalah penduduknya sangat bangga dengan segala yang berbau luar negeri. Parfum gue dari Paris. Kalau cari sepatu yang bikinan Italy yang keren. Bahkan untuk barang yang jelas jelas tiruan saja, orang masih bisa memilih 'yang ini bagus nih, bikinan Hongkong!'. Sangat jauh dari sikap orang Jepang, yang pernah saya temui di sini 'Kalau produk Jepang, baru deh tenang, percaya sama kualitasnya soalnya'. Juga seorang teman dari Jerman. Dan sepertinya, orang Singapura dan Malaysia tidak punya masalah dengan penerimaan terhadap identitas mereka. Jadi, Berdasar anggapan menginternasional generasi baru ini, beresiko bahasa Indonesia menjadi bukan pilihan utama. Tidak sadarkah bahwa anggapan ini perlahan akan semakin menjauhkan kebanggaan atas bangsa sendiri... Jangan sampai nasib bahasa Indonesia seperti Produk Indonesia yang dahulu harus dilakukan promosi pada penduduknya sendiri: Cintailah Produk Indonesia --- Cintailah bahasa Indonesia.

Sepertinya imaginasi ini diperkuat oleh kontak kami selanjutnya dengan para penghuni saat jajan bubur ayam di pagi hari. Seorang pria trendy dalam baju olah raga menegur anak saya yang saat itu kulitnya cukup terang dan mungkin setengah mukanya mencerminkan kalau ayahnya orang kulit putih.
« Hello, what is your name? »
« Sorry, dia nggak ngerti bahasa Ingris » jelas saya
« Apa! Nggak ngomong bahasa Ingris? Terus pake bahasa apa dong? » tanyanya dengan muka heran.
« Indonesia »
« cuma bahasa Indonesia? »tanya lagi dengan alis yang menyengit heran seperti nggak rela kalo anak saya cuma bisa bahasa Indonesia
« sama Prancis » kata saya akhirnya
dan akhirnya tampangnya berubah lega. Peristiwa ini sering kali terjadi.

Seharusnya saya murni berpikir kalau anak saya saat itu keliatan bule banget, jadi nggak logis kalo cuman bisa satu bahasa saja, tetapi kenapa kok rasanya cemas saja. Soalnya begini... Saya itu biar tinggal di luar negeri tetap berusaha bicara Indonesia sama anak saya. Selain memanfaatkan kapasitas anak untuk menyerap bahasa yang beragam (yg juga mungkin alasan orang tua itu berbicara bahasa Ingris pada anak mereka), saya mau anak saya memiliki ketertarikan terhadap Indonesia yang dimulai dengan mengenal bahasanya. Juga supaya dia besar nanti dia akan bisa berkomunikasi dengan sesama orang Indonesia bila sedang mudik. Tetapi melihat gerombolan generasi ini, kebayang anak saya akan bertanya « Mama, kapan aku bisa praktek belajar bahasa Indonesia, disini semua orang kok ngomong Ingris? »

Haruskah saya berkata « Mending Kamu ke kampung kampung Nak, atau ke daerah. Di tempat yang nggak banyak sekolah Internasionalnya. Atau coba mulai belajar membedakan penampilan orang Indonesia yang Kamu ajak ngomong »

Guys, Let's Bicara in Bahasa Indonesia!

notes: setelah sempat terpikir betapa sinisnya tulisan diatas, adanya pembahasan tentang kecenderungan org indonesia berbicara ingris di Jakarta post, cukup membuat saya tidak sendiri.link:
http://www.nytimes.com/2010/07/26/world/asia/26indo.html?_r=1

Sunday, June 13, 2010

Tragedi Buah Apel

Anda sebaiknya menghindari siapapun yang berusaha menjual buah-buah atau apapun yang anda tahu tidak butuhkan pada kondisi: baru pindah ke tempat yang sama sekali berbeda dari tempat sebelumnya, sedang tidak ada kontak dengan teman dan sudah beberapa minggu tidak jajan. Kisah saya ini terjadi di musim gugur 2009. Disaat kondisi itu secara singkat bernama sepi dan bosan.

Dalam keadaan yang nelangsa itulah, Bel di rumah berbunyi. Hampir setengah tahun saya pindah di rumah yang lingkungannya betul betul berbeda dari kota besar dimana saya terbiasa menghirup hiruk pikuk dan polusinya
'Ting Tong'
'Oui'
'Bonjour, Madame. Apa Anda punya waktu sebentar?' Tentu saja. Tidak hanya sebentar yang saya punya.
'Saya Menjual buah-buahan. Bisa Anda keluar dan menengok sebentar?' Pasti ini yang dibicarakan mertua saya tempo hari. banyak orang mencoba berjualan door to door. lebih baik dihindari karena sangat provokatif.
Seharusnya saya berkata 'Tidak. Terimakasih' Silakan berlalu Tapi saya justru mengatakan 'Oui. Saya ambil anak saya dulu' ah, pasti saya sudah sedemikian kebosanan dirumah saja.
Kemudian, saya menemuinya dan menuju ke kontainer penuh dengan berkarton-karton apel dan jeruk.
'Kami menjual produk fresh dengan rasa yang lezat. Berbeda dari supermarket. Jenis mereka adalah bla bla' Promosinya dimulai. Silakan cuap cuap, sebentar lagi saya akan bilang goodbye. Tapi kenapa ya suaranya seperti ocehan teman saya di warung kopi. Lumayan menghibur.
'Jeruk ini berbeda karena jusnya bla bla. Sedangkan apel merupakan bla bla' Kami bukan pengkonsumsi kedua jenis buah ini. Jeruk hanya buat jus di waktu weekend. Sedangkan apel, kami paling mentok makan 3 buah dalam waktu seminggu.
'Bagaimana Anda tertarik?' Tentu saja tidak. Saya bukan jenis yang gampang digoda!
Dan seharusnya saya berkata 'Tidak' *Sudah waktunya pergi* Tetapi kemudian yang keluar dari mulut saya
'Berapa harganya?'
'Sistem pembelian kami dalam karton. Harganya bla bla bla' Karton? Yang benar saja!
'Tapi kami hanya berdua. anak saya masih kecil. Tidak mungkin mengkonsumsi sebanyak itu' Kali ini perkataan saya matching dengan pikiran saya.
'Kami khusus bisa menjual dalam setengah karton untuk Anda. Bauh ini bisa tahan 5 bulan' Setengah karton. Itukan tetap saja banyak. Lima bulan? Tu parles! Disuruh makan buah busuk!
Seharusnya saya berkata 'Tidak' dan benar benar pergi. Tetapi kemudian saya berkata
'Baiklah' Toh apa salahnya sekali kali beli sesuatu, sudah 2 minggu lebih saya nggak keluar uang. Nggak jajan apa-apa. Lagi pula itu ongkos mau ngobrol sama saya sekarang ini.

Kemudian, dua orang itu sibuk melayani saya. Satu mengeluarkan bon, satu mengangkut apel.
'Ini bonnya ya. 17 kg jadi ... euros' Astaga! Saya jadi beli buah buah ini. MAN, GUE BELI APEL 17 KG!
'ok. Yang 10 euros saya bayar cash, sisanya pakai kartu kredit' begitu yang keluar dari mulut saya dengan mimik yang tenang.
Ketika kedua orang itu pergi, panik melanda saya. Menjalar cepat bagai virus flu yang merebak di musim pancaroba. Segera saya angkat karton itu. Saya berniat menyembunyikannya di gudang belakang sehingga suami saya ketika datang tidak langsung melihat benda yang tidak pada tempatnya itu. Bagaimanapun saya nggak kuat membayangkan komentarnya 'Apa itu? Apel 17 kg? buat apa? Are you Crazy!' Yes, I'm Crazy! Don't you know that before you married me?!' Skenario itu berkelebat di kepala saya.

DAN seperti dalam film film yang banyak unsur kebetulan.
*CLEK* bunyi pintu dibuka
Suami saya masuk ketika peti apel itu ada di tangan saya, persis di tengah ruang keluarga! Mengantipasi sebelum terjadi apa apa, saya berkata
'I made mistake. Saya membeli sesuatu secara impulsif. Tapi nanti saya ganti dengan uang saya sendiri'
'What happen? Kamu beli sesuatu ratusan euros?'
'Tidak. Saya beli ini. Rasanya enak dan tahan berbulan bulan' Kata saya sambil menunjukkan bon yang untungnya harganya sudah berkurang. Andaikata dia lihat harga totalnya, pasti suami saya bakalan tetap ngomel.

Berbulan-bulan kemudian, saya tetap tidak berhasil menemukan cara menghabiskan apel itu. MAANNNNNNNNNNNNNNNN !!!

Tuesday, June 1, 2010

Buku Perdana

--- Hidup seorang perempuan menjadi lengkap bila sudah memenuhi 3 hal: Mempunyai anak, Menerbitkan buku dan Menanam pohon --- pepatah spanyol


Bila menanam tomat sudah dihitung menanam pohon, berarti lengkap hidup saya. Pasalnya, soal membuat buku itu, tinggal menunggu penerbitannya. Bila semua lancar. Meski sejujurnya, gelar penulis adalah salah satu profesi di dunia yang tidak penah saya bayangkan akan saya miliki. Terjadi begitu saja. Mengalir bagai air.

Kisah berawal lebih dari setahun lalu saat seorang teman curhat untuk kepingin jadi penulis karena punya banyak kisah tapi tak tahu dari mana, dan juga dia bilang kurang pintar bikin dialog. Iseng didorong perasaan yang mulai bosan hanya jadi ibu rumah tangga, saya justru mengajukan diri membantu dia. Ketik ketak ketuk. Jadilah 15 halaman pertama. Kemudian kisah dilanjutkan dia, diulik saya. Penciptaan tokoh, merangkai garis besar cerita, memelototi detail, mengubah nasib tokoh. Ternyata saya suka menulis panjang begini, bisa menghasilkan perasaan semu seolah olah menjadi tuhan, yang mengkreasi kehidupan.

Naskah terbentuk. Atas rekomendasi seorang teman, kami mengajukan pada seorang editor penerbit besar. Seperti sms suami saya, JK Rowling tidak berhasil menggolkan naskahnya di 10 penerbit yang ia kirim, naskah kamipun di tolak. Kami sempat bete, tapi sedikit. Saya langsung pasrah. Jujur saja, nggak pernah menerbitkan buku bukan hal yang membuat hidup saya nelangsa. Lah saya ini dalam sejarah punya nilai jeblok dalam pelajaran karang mengarang. Sekilas kenangan:
-waktu SD, nilai saya paling tinggi di Matematika. Bila pelajaran mengarang tiba, saya menghitung banyaknya kata supaya lewat batas minimum karangan di terima
-SMP, SMA jurusan fisika.
-Kuliah di Psikologi, tahun pertama di bulan kedua, saya membuat list berbagai kata sambung, kata hubung dan kata kata lain yang seharusnya saya pelajari ketika di sekolah dasar. kemudian setiap kali bikin tugas kuliah yang essai, saya lihat list itu untuk membuat tulisan lebih panjang dan nggak monoton.
Lepas dari tahun pertama di Psikologi, saya mulai lancar menulis. Imajinasi saya yang dicap kartun dan 'berlebihan' saya manfaatkan untuk melamar sebagai Question Creator di Quiq Family 100. Setelah 2 tahun, saya mundur. Duitnya kedikitan haha. Terus, pengalaman nulis yang lain muncul saat satu acara TV (Gurau Sedap TPI) di thn 2005 kekurangan pembuat naskah. Jadilah dari 'hanya bisa nulis ilmiah' bertambah menjadi 'bisa nulis script Tv' tapi untuk bentuk dialog dan lucu lucuan. Saat itu saya tidak tahu bahwa sempilan bagian kehidupan ini ternyata mempengaruh pada kehidupan saya selanjutnya.

Di Prancis, tahun tahun awal saya sibuk belajar jadi wanita domestik. tahun ke tiga, saya sudah bisa masak untuk menjamu tamu, rumah lolos dari standard kebersihan suami, anak sudah bisa jalan. Saya bosan. jadilah kisah menulis saya lanjut lagi, membantu teman saya tadi. Kami menulis tentang kehidupan ekspatriat di Abu dhabi melalui seorang tokoh yang bernama Chloe. Untuk itu saya jadi harus baca buku, browsing di google image dan berbagai projek menambah pengetahuan tentang isinya. Saya merasa cukup senang, ketika bisa ikut mengambarkan suatu tempat yang belum pernah saya injak. Juga setelah draft jadi, berdua teman saya, ternyata bisa membuat sebuah cerita panjang dengan detail yang awalnya hanya dibuat seperti flowcart. Akhirnya, kontribusi saya yang semula diperkirakan hanya bantu bantu, tidak kurang dari 50%. Joint partner.

Meski kalau kemudian buku ini terbit dengan ditempeli embel embel Base on true story, dgn profil penulis, yang terlihat bukan saya yang pernah tinggal disana. Tidak apa, saya sudah punya pengalaman menulis buku. Paling tidak hidup saya sudah lengkap, sesuai ucapan Carolina, teman spanyol saya. Kita lihat apakah karir dadakan saya ini akan berlanjut atau tidak... we will see... ;-)