Saturday, March 2, 2013

Selamat Jalan, Bapak

Akhirnya, sebulan yang lalu, saya merasakan satu efek negatif tinggal jauh dari kampung halaman. Berbeda benua. Dipisahkan samudera. Jarak.

Jarak membuat saya limbung. Meraung-raung setelah mendengar perginya bapak. Saya meruntuk, mengapa saya tinggal sejauh ini dari rumahnya? Dari rumah bapak saya dan istrinya. Saya sudah pernah menangis, waktu ibu saya juga pergi ke dunia lain. Waktu itu saya meraung, tetapi ini beda. Saya tidak bisa melihat jasad bapak. Senyum kaku mayatnya. Tunggu dulu. Saya bahkan tidak tahu apakah dia tersenyum di akhir masa hidupnya? Apakah dia sempat menderita? Atau justru bahagia karena lepas dari penyakit asam urat yang membuat kakinya bengkak-bengkak dan cuma bisa terbujur saja? Sempat pulakah dia memberikan pidato terakhir seperti kebanyakan orang di ujung hayat? Atau dia tetap pelupa, dimakan penyakit pikun yang membuat dia tak kenal semua anak-anaknya?

Whatsap. Telepon. Kabar-kabar berseliweran di kedua benda itu. Tapi apa? Yang saya butuhkan keramaian atas kepergiaannya. Orang-orang yang menangis dan matanya bengkak. Seperti saya. Lagi-lagi, saya tak tahu harus bagaimana bersikap. Kesedihan itu ada. Terasa sangat dalam tetapi tak berwujud. Di sekitar saya, semua tampak biasa. Suami pulang kerja. Anak pulang sekolah. Rumah rapi. Semua damai. Sepi. Hanya saya yang ribut, seolah berusaha meraih sesuatu yang tidak berbentuk.

Untunglah, keesokan hari, saya pulang. Dan efek itu terasa lagi. Sampai di Jakarta, mayatnya sudah dikebumikan. Tapi saya lega. Makamnya masih basah oleh taburan bunga. Mata adik dan kakak, sama bengkaknya dengan saya.

Bapak. Selamat Jalan. Kamu bukan orang paling baik di dunia. Pun bukan orang hebat tanpa cela. Tapi diam-diam saya mencintaimu. Karena kita memang bukan jenis orang yang mengobral cinta dengan kata-kata. Terimakasih sudah menjadi bapak saya. Selamanya, kamu akan ada.