Monday, October 9, 2017

RIP My little brother

Today is your birthday: 9 Oct 2017.
Kamu seharusnya menjadi 39 tahun.
Tapi kamu tidak ada. Kamu sudah pergi.
Wafat

Kepergianmu mendadak. Membuat pagiku menjadi raungan. Membuat mingguku tak karuan. Anakku ikut menangis, dipikirnya mamanya yang jatuh dari tempat tidur dan terluka. Terluka berat sampai mamanya menangis. Begitu tahu itu omnya yang pergi, anakku tetap menangis. Aku baru tahu kalau anak 10 tahun itu merasakan kesedihan seorang yang begitu muda mati tiba-tiba. Pergi dalam tidurnya. Ditemukan tak bernyawa dalam keadaan tertelungkap, mencium karpet sebelah tempat tidur.

Anakku benar. Kamu masih muda. Kamu bahkan adikku dan aku sudah lebih tua. Hidup mungkin yang membuatmu kelelahan. Usaha yang cemerlang, sekolah tinggi, kamu semua sudah. Terpuruk pun sudah. Bangkrut mendadak juga sudah. Hidup mungkin yang membuatmu tak bergairah, hanya makan saja yang bisa membuat hidupmu terus bejalan.

Meski berat, akhirnya aku bisa menerima, mungkin kamu lebih bahagia di sana, daripada di sini diam-diam kamu kesakitan. Hipertensi, kolesterol, "gue juga punya penyakin jantung lho , Mbak". Katamu bangga dua bulan lalu, saat kita bertemu.

Today is your birthday. Joyeux anniversaire, Dek!
Sudah ketemu bapak dan ibu? Juga lek Tari?
Harusnya sudah. Kalian kan terbujur berdampingan di San Diego Hill itu.
Tak jauh dari situ ada danau dan kolam renang. Mestinya gratis untuk penghuni.

Di antara air mataku yang menetes karena tak bisa hadir dipemakamanmu. Mungkin kita bisa bicara secara batin. Maukah kau menjawab pertanyaanku, yang juga mungkin pertanyaan sebagian besar manusia:
- Sudahkah kamu ketemu Tuhan? Seperti apa Dia? Benarkah di pencipta semua, maha penyayang dan segala macam maha lainnya? Semoga dia bukan seperti pemain games SIMS, yang menciptakan para tokoh, lalu tertawa saat mereka menderita akibat skenario yang dibuatNya sendiri..
- Sudahkah kamu jalan-jalan (bukan cuma ke danau atau kolam renang San Diego Hill), jalan-jalan ke surga atau neraka? Beneran ada kah? Kayak apa? Keindahan surga apakah menurutmu layak sampai orang-orang rela mengorbankan hidup dan menyengsarakan orang lainkah? Neraka apakah penuh siksaan? Coba kamu kasih tahu aku, supaya aku bisa gabung lagi mengejar tempat di sana, kalau surga dan neraka memang benar ada.. Semoga kamu lulus tes wawancara sama malaikat dan masuk surga ya. Amin
- Bapak, ibu dan lek tari apa kabar? Betulkah arwah-arwah itu bisa gentayangan? Aku ini penakut. Biar aku tahu apa itu benar atau hanya imaginasi.
- Bentuk bintangmu apa, biar aku bisa dadah-dadah kalau malam?

Adek, mungkin kamu nggak nemu cara memberitahuku untuk pertanyaan barusan. Aku belum punya mata ke-tiga. Atau kamu kesal karena aku sekedar pingin tahu saja seperti biasanya. Bosan barangkali karena topik pembicaraan kita yang sering "datar" saja.

Begitulah kita Dek. Kita seperti kebanyakan manusia lain. Di masa hidup, sulit untuk bilang "I love you" "Happy that you are here" Hal-hal sentimental yang najis untuk diucapkan. Kalimat untuk kalangan cengeng sehingga kita tahan, seberapapun besarnya perasaan kita itu. Kamu juga tidak pernah tahu betapa aku sering memikirkan dan mengkuatirkanmu. Hidup yang tanpa ambisi, hidup tanpa pendamping. Aku tidak pernah berani bertanya "apakah kamu tidak tertarik dengan perempuan dan menikah?" Juga tak berani bertanya apakah kamu sungguh bahagia menghabiskan hari dengan dua pembantu yang mungkin sudah dianggap saudara. Kekuatiranku dengan kesehatanmu hidup di rumah yang mendekati rongsokan itu. Kamu memang tidak tahu karena aku tidak pernah bilang bahwa aku mencintaimu, adik bungsuku. Kamu juga sudah tak tahu beratnya kehilanganmu dari ribuan kilometer ini. Kepalaku dihantam kenangan tawa dan tengkarnya kita.

Berbahagialah di sana, dalam peluk bapak, ibu dan lek Tari.
Tiuplah lilin yang kencang. It's your birthday, one day after your death.

Kakakmu.

Wednesday, February 17, 2016

LGBT : Antara Pro dan Kontra

Empat huruf yang lagi booming dan cocok untuk menjadi judul tulisan.

                          Image result for lgbt

Lesbian Gay Biseks Transeksual. Empat kata ini juga yang mampu membuat saya mengetik di blog ini lagi sebagai tulisan pertama di bulan Februari 2016. Entah kenapa, kadang saya lupa bahwa blog ini adalah rumah yang cocok untuk menuangkan uneg-uneg.

Betul ini judulnya uneg-uneg. Setiap hari di telephon gengam, ting tung ting tung obrolan by whatsap, Facebook, Twitter sosial media yang sering kali menjadi tempat orang curhat, caper dan bermodus exist. Oleh sebab itu tambah lama seperti malah dirasa seperti sebuah kontrol sosial dalam bentuk yang baru. Sudah nggak enak lagi untuk tempat bicara, terutama bicara tanpa harus takut dihakimi. Kenapa ya, ada kecenderungan sebuah topik menjadi hal yang sensitif dan berkubu-kubu? Setelah soal agama yang mengikuti serangan teroris sekarang ngomongin LGBT ini juga penuh dengan opini yang berat sebelah. Seolah-olah tidak ada ruang netral lagi. Kamu pro atau kontra? Celakanya yang pro LGBT sering kali dihubungkan dengan sikap mendukung perluasan komunitas ini. Lalu terkait dengan aktifitas para homo gay tersebut yang dianggap seperti pedophilia dan bertujuan membuat sebanyak-banyaknya kaum hetero menjadi homoseksual. Bila homoseksual adalah negatif, maka yang pro lgbt dianggap negatif ya? Tentunya...

Salah satu sikap kontra yang paling sering muncul adalah pandangan bahwa lgbt adalah penyakit dan perlu disembuhkan. Itulah yang membuat saya yakin bahwa saya tidak kontra. Bagi saya, kaum mereka itu adalah sama saja dengan makhluk yang lain. Cara berpikir sama, cara makan sama, kebutuhan sama, dan sikap sosial yang sama saja dalam berteman dsb, hanya saja mereka lebih memilih sesamanya. Lalu, betulkah mereka penyakit? Sudah sejak belasan tahun lalu, LGBT tidak lagi tergolong dalam Gangguan kejiwaan. Oleh WHO maupun DSM yang menjadi panutan psikolog dan psikiater Indonesia, sudah masuk ke dalam orientasi seksual saja. Jadi secara ilmiah dan formil, mereka bukan tergolong ber'penyakit'. Dari sini sebenarnya inti perdebatan soal LGBT. Orang-orang yang ngotot mereka adalah penyakit, sangat yakin bahwa kaum ini bisa disembuhkan, which is, back to hetero. Orang-orang golongan ini sangat pasti bahwa penyebab LGBT adalah lingkungan. Namun, pertanyaannya adalah lingkungan yang seperti apa? Seolah-oleh orientasi seksual seperti latah, yang bisa di drill terus menerus atau sekedar ikut-ikutan karena gaya hidup. Bagi saya, seharusnya mereka berpikir lebih jauh lagi, back to basic, kata seksual, - dipersingkat - seks. Orientasi dihubungkan dengan dorongan. Apakah dorongan seksual bisa dibelok-belokkan semudah itu? Mari kita berkaca. Saya perempuan. Saya tahu saya ogah lihat dua perempuan ciuman. Sama sekali nggak horny liat perempuan telanjang, apalagi kalau telanjangnya dengan sengaja sekamar. Yang ada saya pura-pura nggak lihat. Saya sering berpikir bila di dunia ini tidak ada laki-laki yang available, saya mending jadi jomblo daripada jadi lesbi. Nah, kalau laki-laki akan lebih kelihatan lagi. Apakah dia bisa ereksi dengan lawan jenis? Kalau dia nggak nafsu, sampai kapan pun, dia itu adalah homo sejati. Di sini kita sudah tidak boleh mencampurkan antara homo, lesbi dan biseks.

Ngomong-ngomong, melantur dikit ke khusus soal biseks. Banyak golongan kontra LGBT bahkan nggak tahu bedanya homo, lesbi dan trans. Mereka juga kadang lupa memasukkan biseks dimana, atau lalai memikirkan keberadaan biseks. Biseks dicampur dengan homo dan lesbi. Buat saya  biseks sebaiknya dicoret dalam diskusi karena cuma bikin repot. Secara sosial, biseks ini tidak akan banyak bermasalah dalam masyarakat. Kata Bi, jelas-jelas menunjukkan bahwa dia homo sekaligus hetero. Jadi kaum biseks  bisa saja nikah dengan lawan jenis dan bisa punya anak. Urusan dia punya pacar sejenis di belakang, urusan sembunyi-sembunyi saja. Lebih jauh lagi, biseks ini mungkin yang membuat rancu, pada saat seseorang yang merasa homo ternyata bisa jatuh cinta dan nafsu dengan lawan jenis. Saya barusan saja bertanya, jangan-jangan kaum kotra yang yakin bahwa homoseksualitas bisa dibelokkan adalah karena kasus mereka biseks yang saat awal konsultasi hanya mengenali diri dari segi homonya?

Nah, lanjut lagi soal nafsunya... si nafsu ini sebetulnya adalah istilah simpel yang berkaitan dengan pandangan asal mula penyebab homoseksualitas. Kaum kotra yakin bahwa homoseksualitas lebih karena bentukan lingkungan dan bukan biologis. Kaum pro yakin bahwa homoseksulitas lebih kuat di faktor biologis. Secara keilmuan, sejauh yang saya tahu masih tidak ada penelitian yang menjelaskan secara gamblang dimana presentase yang paling besar. Tapi Anda boleh menyangkal saya, karena biarpun saya psikolog, saya tidak berkecimpung di dunia konseling klinis. Namun sebelum menepis semua pemikiran saya, tolong teliti kembali acuan yang Anda pakai, karena percayalah, saat ini banyak psikolog yang memanfaatkan situasi. Sama seperti profesi lain, tidak semua psikolog kompeten dalam bidang ini. Bila keseharian dia ngurusin seleksi pegawai atau ngomongin tingkah laku artis, sudah deh, belum tentu dia punya waktu baca tentang LGBT yang ilmiah. Banyak di antara mereka bahkan kelihatannya nggak punya kontak sama sekali dengan kaum ini. Jadi anggap saja saya sama dengan psikolog yang asal bunyi, tapi saya berani bertaruh, paling tidak, belum ada peneliti Indonesia yang melakukan penelitian ilmiah dengan metode yang benar tentang seluk beluk penyebab homoseksualitas.

Dengan dasar kenihilan segi keilmiahan, saya hanya akan bercerita dari segi pengalaman saya. Saya dikeliling kaum gay dan lesbi sejak tahun-tahun pertama kuliah. Beberapa sahabat saya sampai sekarang pun ada dari kaum ini. Saya mengikuti perkembangan kehidupan mereka bertahun-tahun. Dalam psikologi, mungkin bisa digolongkan dalam longitudinal reseach. Semua dari mereka mulai menyadari bahwa mereka hanya tertarik dengan lawan jenis sejak mereka masih kecil, sekitar di Sekolah Dasar. Kuatnya dorongan ini meningkat saat memasuki SMP. Yang lesbi, berkata bahwa ada desiran saat di ruang ganti olah raga. Yang gay, malah lebih jelas lagi. Hampir semuanya mencoba pacaran dengan lawan jenis karena begitulah norma di Indonesia. Tetapi mereka mengaku tidak ada perasaan apapun. Satu teman gay saya pernah cerita bahwa hal yang dilakukan dengan mantan gadis-gadisnya paling-paling memegang payudara mereka tetapi dia tidak terdorong untuk melakukan ciuman. Dari sini bisa dilihat bahwa ketertarikan seksual muncul dari dalam dirinya, toh si pacar sebetulnya tidak akan menolak untuk macam-macam, kalau tidak mana boleh payudaranya dipegang? Sebelum akhirnya coming out, mereka biasanya pernah berusaha jatuh cinta dengan lawan jenis. Teman lesbi saya itu malah pernah betul-betul goyah, benci dengan dirinya karena sebagai kristian yang taat dia merasa berdosa dan pernah bimbingan dengan pendeta. Tapi ya tidak bisa. Di Prancis ini saya punya teman yang mengaku bahwa aslinya dia adalah lesbi tetapi lalu menikah. (catatan, perempuan lebih mudah tunduk pada tekanan sosial dan karena posisi seksual bisa pasif jadi bisa lebih tertutupi). Dia bilang suaminya baik dan mereka hidup bahagia dengan cucu-cucu mereka. Namun si nenek ini berkata bahwa dari segi seksual dia tidak pernah mengalami kepuasan, semua semata demi si suami. Jadi saya kasih tahu ya.. teman saya ini nenek-nenek dan menikah sudah puluhan tahun, tidur seranjang, apakah masih bisa dikatakan bahwa dorongan seksual itu bisa dibelokkan? Atau jangan-jangan suaminya kurang ganteng haha.

Kaum kontra yang percaya dorongan seksual bisa dibelokkan, bertindak lebih jauh lagi. Ingin menterapi semua homoseksual supaya menjadi hetero. Boleh saya tanya, bagaimana wujud terapinya? Salah satu kerabat saya bilang, harus si pelaku punya motivasi berubah. Ok. Lalu? konseling secara menyuluruh. Ok masuk akal. Lalu yang dorongan seksual? Katanya pakai terapi hormon. Hmmm... what kind of hormon? Sampai sini kita belum bicara tentang Transeksual. Kaum kontra disinyalir melupakan detil bedanya homoseksualitas dengan transeksual. Homoseksualitas, pelaku merasa seperti tampilan fisiknya. Homoseks merasa dia laki-laki, seperti lesbian merasa  perempuan. Sedangkan transeksual, mereka merasa tubuhnya tidak sama dengan identitas gender. Makanya mereka berusaha merubah penampilan fisik. Setahu saya hormon dipakai dalam kasus ini. Waria menyuntikkan hormon Estrogen supaya kulitnya halus, pita suara melembut, dan bulu-bulu berkurang. Jadi hormon adalah untuk penampilan fisik. Kalau ketertarikan seksual, dimana letaknya, itu jadi pertanyaan saya. Karena secara lebih dalam, homoseksual dan lesbian, mereka juga punya pengolongan. Misalnya dalam lesbian ada yang menjadi 'pria' alias buchi, atau femme alias 'perempuannya', Lalu terapi hormonnya, gimana? Yang buchi dikasih hormon untuk jadi lebih perempuan.. maybe.. kalau yang mau insaf yang femme, apa terus dikasih hormon laki-laki?

Selain soal terapi, Diperbincangkan juga tingkah laku kaum homo yang seolah mengekspos dan mengajak masyarakat menjadi homo, terutama kalangan anak kecil. Menurut saya, ini lagi-lagi pencampur adukan berbagai hal. Perilaku homoseksual yang menjadikan anak kecil sebagai objek seks, tidak bisa hanya ditarik garis dari sisi homoseksualitasnya, tetapi harus lebih menyorot aspek pedophilia. Pedophilia inilah yang merupakan tindakan kriminal. Seperti halnya di negara barat, pedophilia bisa dihukum penjara. Bila di Indonesia, masih ada satu dua orang yang menikahi anak-anak dibawah umur dan bisa lolos dari hukum, akan sama saja, hetero maupun homoseks yang menyebarkan perilaku seks tidak pada tempatnya.

                                          Image result for seksual

Saya pribadi percaya, orang-orang yang terhitung LGT (sepertinya sudah sepantasnya saya hilangkan huruf B) merasakan beratnya hidup sebagai kaum mereka. Dengan demikian, mereka tidak berkeinginan untuk mengajak yang  hetero pindah orientasi seperti mereka (seandainya orientasi seksual mudah dibelokkan). Sebuah percakapan dengan satu sahabat saya beberapa tahun lalu setelah kelahiran anak laki saya satu-satunya:
"Lo tahu betapa sayangnya gue sama elo. Gue dukung cara hiduplo mau gimana pun. Gay atau bukan, lo sama di mata gue. tetapi kenapa ya, jangan marah.. terkadang gue berpikir bahwa gue nggak kepingin anak gue ini jadi gay. Kayaknya gue nggak tahu harus seperti apa bila itu terjadi..."
Jawabannya justru membuat saya lega:
"Nggak usah merasa bersalah. Ibu gue juga pasti ingin punya anak hetero. Gue pun kalau dalam posisilo, akan berharap hal yang sama agar anak gue hetero. Itu pasti karena berat hidup seperti ini."

Pernyataan hidup mereka berat apakah juga sesuatu yang lebay? Terlepas dari judgement bahwa itu pilihan hidup mereka, sebagai homoseksual dan transeksual memang bisa terdeteksi dengan mudah letak kesulitannya. Bayangkanlah bila kamu berbeda dari orang-orang di sekitar kamu, jelas-jelas kamu akan dihujani oleh pandangan menyelidik. Kamu jadi harus bertingkah secara 'proper'. Menahan diri untuk mengetahui batasnya. Penerimaan kaum ini meskipun di dunia barat masih belum merata. Dari pernyataan beberapa orang kenalan, di Prancis yang sudah melegalkan perkawinan sejenis sejak tahun 2014, tetap saja ditemui homophobie. Sikap kurang berkenan masih kerap di temui di kota kecil atau desa. Memang hukum melindungi hak mereka, tetapi sebagai makhluk yang hidup di dunia sosial pasti perlakuan sekitar akan masuk ke dalam hati. Secara natural pun, kaum ini relatif lebih 'stagnan' dalam tahap-tahap hubungan, aka kehidupan secara keseluruhan. Terdapat level yang membedakan sedikit, misalnya lesbian masih bisa memiliki anak biologis bila melalui in vitro. Homoseksual tidak bisa. Kebanyakan mereka memelihara anjing sebagai 'anak'. Hal ini masih terus menjadi perdebatan dari segi legalitasnya di manapun, termasuk negara yang melegalkan perkawinan. Oleh sebab itulah, para kaum ini terlihat tidak 'dewasa-dewasa'. Kehidupan mereka memang cenderung seperti single seumur hidup, meski dalam keadaan berpasangan. Salah satunya lebih menonjol dalam dunia 'ke-fisik-an'.

Pada akhirnya, pantaskah kita kontra? Atau justru kita sebenarnya pro? Di sini, muncul pertanyaan baru, apa definisinya pro dan kontra? Sebatas mana pro dikatakan pro? Apakah sikap yang menerima keberadaan lgbt, ataukah mendukung perluasan komunitas ini ataukah sampai pada dukungan pada sistem hukum pernikahan sejenis? Bagaimana bila orang itu menerima keberadaan LGBT tetapi tidak memandang perlu pernikahan sejenis ada. Orang ini masuk golongan apa? Lalu si kontra, sejauh mana bisa dikatakan kontra, sekedar tidak suka bila sampai ada tindakan perluasan spt ke anak-anak (aka pedophilia), atau mendukung orang yang ingin jadi hetero atau justru sampai yang ekstrim, menganggap lgbt penyakit? Pengolongan yang tidak jelas, akan membuat kubu-kubu dengan pertarungan yang abstrak. Seperti sebuah link yang isinya sama tetapi penulisnya ditulis berbeda, dua duanya dengan bergelar psikolog - pasti hoax. Sama halnya dengan forum diskusi (yang sering menjadi debat), dengan kutipan masing-masing dari tokoh yang mendukung pandangan mereka, misalnya yang TV One itu, pakar religi mengutip Einstein tentang ilmu pengetahuan tak lepas dari agama. Nanti bisa saja, kubu lain mengutip Sigmund Freud yang menyatakan pada dasarnya semua manusia adalah biseks. Pada level ini, lgbt bukan suatu bahasan objektif, bisa saja berselubung nuansa ilmiah tetapi lebih mengarah pada propaganda. Ayo masukkan LGBT kembali dalam golongan gangguan jiwa, ayo sembuhkan semua mereka. Ini bukan diskriminasi, tetapi mereka yang tak ingin sembuh adalah orang-orang yang tak pantas hidup di Indonesia.. hayoo... Ayo kasih lgbt pernikahan legal karena bla bla bla. Padahal kebanyakan LGBT mungkin hidup tanpa disorot saja sudah senang kok.

Masing-masing berhak bersikap, tentu saja. Sesuai dengan nilai dan kehidupan pribadi. Saya sendiri tidak tahu masuk golongan pro atau bukan. Dari kacamata pribadi, saya melihat saya netral atau abstain. Yang pasti saya menerima keberadaan mereka namun mendukung terapi bagi yang ingin menjadi hetero (cat: ada kata ingin, tetapi bukan sesuatu yang dipaksakan) Dan sebagai ibu, saya tidak juga ingin penyebaran LBGT ini, bila memang ada upaya ke situ. But above of all, saya pribadi yakin bahwa penyebaran tidak semudah itu. Bayangkan apa jadinya negara barat, seperti Prancis ini dimana homoseksual dan transeksual bisa menikah di gereja, kenapa tidak semua orang menjadi homo? Lagi-lagi, soal pilihan dan ketertarikan seksual.Sikap individu ini di Indonesia cukup didominasi agama. Banyak yang menyakini bahwa agama bisa membuat yang homo menjadi hetero. Betulkah? Kembali saya cuma mengajak kritis saja. Agama yang mana? Apa definisi agama di sini? Cangkupannya apakah hanya Islam dan Kristen? Tidakkah di Indonesia, agama ada enam. Hindu, Budha, Konghucu apakah juga menentang? Dari situ harus diluruskan dulu. Karena kalau kita bicara secara umum haruslah umum, tidak hanya sebenarnya mewakilkan satu atau dua saja. Sejujurnya kata agama yang sering di pakai di Indonesia, menyempit mengacu pada agama besar, Islam dan Kristen, Mungkin saja memang bisa, saya tidak tahu. Saya sendiri hanya tahu teman saya yang dulu itu. Dia 'berobat' pada pendetanya. Motivasi berubahnya besar sekali tetapi tetap tak bisa. Ada satu teman lainnya yang gay tetapi berasal dari keluarga Islam taat. Saya tahu persis dia gay karena saya bisa menyebutkan nama pacar prianya yang pernah secara sembunyi ada. Nah, si teman saya ini sampai sekarang pun masih single padahal gantengnya minta ampun dan pintar. Saya lihat dia sekali-kali muncul ke publik dengan 'pacar' perempuan. Tapi saya tahu dia akan begitu saja. Lagipula, kalau kita mau jujur, dalam lingkungan agama yang terdalam pun, dalam gereja sesekali terdengar kasus pendeta gay, seperti yang dikirim Prancis tahun lalu ke Vatican. Atau di negara Islam, Afganistan etc, ada fenomena bici baca. Saya tidak menyangkal kemungkinan agama bisa mengerem munculnya perilaku homoseksualitas atau transeksualitas, tetapi saya kurang yakin bila agama masuk dalam faktor utama.

Sebagai penutup, saya minta maaf bila saya malah bikin semua jadi abu-abu. Saya memang paling suka mengajak berpikir dan kurang tertarik dengan propaganda. Pikiran saya hanya biarkan saja LGBT seperti yang ada. Jangan kita melakukan generalisasi sampai kehilangan inti permasalahan. Bila yang ditakutkan adalah penyebaran dan masa dengan anak-anak, maka kasusnya beralih dari LGBT ke pedhopilia. Urusan penerimaan, silahkan diterima atau anggap mereka tidak ada. Tidak perlu melakukan gerakan besar-besaran dengan memasukkan golongan ini kembali ke kategori lama sebagai gangguan psikologi. Karena siapa yang mau membiayai mereka semua melakukan pengobatan ke psikolog dan psikiater? Berapa banyak psikolog dan psikiater yang kompeten dalam hal ini? Bila kondisi tidak siap dengan konsekuensi ini, malah pengolongan resmi ke dalam 'gangguan' hanya akan membuat sikap judgmental lingkungan. Sekarang saja hidup mereka sudah banyak yang sembunyi-sembunyi akibat ketidak nyamanan, mau diapakan lagi? Tidak perlu memang dipaksakan adanya pernikahan sejenis jika masyarakat tidak siap, cukup misalnya mengakomodir kebutuhan prisipal mereka untuk hidup tenang, misalnya pasangan LGBT ini bisa mendaftar agar dalam hal medis bisa diperlakukan seperti pasangan. Ini contoh bagi yang belum pernah mendengar: bahwa dalam tindakan medis, saat satu pasangan tidak sadar, maka pasangan lain tidak berhak karena bukan suami istri dan tidak ada hubungan darah. Ini concern yang cukup penting sebagai manusia.

                                         Image result for lgbt

Kalau tetap saja bersikap tidak mau peduli dengan mereka, sebaiknya jangan terlalu kontra. Kenapa? Karena tambah kontra suatu masyarakat, komunitas LGBT akan semakin tertekan dan termarginal. Lalu bantuan akan datang dari Internasional. Bagaimanapun LBGT ini secara hukum internasional sudah tidak dianggap gangguan atau penyakit, jadi atas nama HAM pasti akan terbantu. Sekarang saja salah satu asosiasi internasional dibawah Unesco sudah mengucurkan 101 M bagi komunitas LBGT di Asia agar bisa hidup lebih maksimal. Nah, silahkan kalian sendiri yang tentukan, mau tetap kontra atau tambah kontra atau mengurangi kadar kontra? Tambah kontra, bantuan akan lebih banyak datang. Nanti malah gondok sendiri....

Friday, November 20, 2015

Paris Bermandi Tragedi

Paris Berduka.

Friday the thirteen. 13 November 2015. Blood everywhere. And here we go my own story.

Jumat itu saya pulang bekerja di sebuah tempat di Paris distrik 11. Yang seharusnya pulang jam 20.30, hari itu klien kosong sehingga saya bisa pulang jam 19.15. Setiba di rumah, anak saya meloncat-loncat kegirangan. Saya gembira melihatnya. Suami saya gembira. Kami bahagia menikmati malam dengan menonton pertandingan bola Prancis - Jerman di Stade de France di televisi. Jam 22.30 kami semua tidur kecapean.

Besok paginya, saya menerima telephone, sms, dari teman di Prancis dan Indonesia. Saya masih belum tahu apa2. Sampai saya pergi ke stasiun kereta untuk menunggu bisa pergi kerja ke Paris lagi. Lalu sampailah sms bahwa hari ini diliburkan. Dan baru saat itu saya tahu segenap tragedi yang terjadi di malam sebelumnya.

Suami saya menyambut kepulangan saya dengan mata berkaca-kaca. C'est affreux! C'était affreux! Menakutkan! Katanya.

Kami tinggal di pinggiran. Seperti Depok yang menempel ke Jakarta. Tapi Paris itu kota kami. Paru-paru kami saat sedang suntuk pada rutinitas, saat ingin menikmati malam berdua. Menelusuri jalan-jalan terpal yang selalu ramai. Duduk-duduk di café. Bersantai di bar atau pun menonton thêater. Sesekali nonton konser. Dan malam itu, tragedi terjadi serentak menguncang 7 tempat di Paris, dengan sasaran warga biasa seperti kami.  Sejak itu kehidupan kami menjadi mencekam terutama bayangan yang berputar di kepala saya: bagaimana jika kami yang menjadi korban dan anak kami menjadi yatim piatu? Bagaimana bila nanti anak kami yang mulai besar dan menjadi korban kita kumpul2 dengan temannya? 

Dunia Internasional menunjukkan perhatiannya. Indonesia juga. Meski, yah begitulah, tidak semuanya. Banyak yang berkomentar miring. Biar saja Prancis celaka, mereka tidak punya agama. Itulah akibat dunia barat ikut campur dengan dunia lain aka negara2 Arab. Tidak perlu simpati karena lebih baik bersimpati pada sesama negara muslim. 

Saya sempat menjadi lebih terpuruk. Sudah takut karena baru kali ini serangan teroris membabi buta, ditambah dengan perdebatan sengit yang seolah-olah tidak perduli pada duka orang lain. Salahkah Prancis? Mungkin. Tetapi coba lebih kritis. Prancis tidak ikut dalam pengeboman dulu di Irak yang disinyalir menjadi cikal bakal berkembangnya kubu militan yang kemudian menjelma menjadi Isis. Prancis semata punya Paris, yang disorot dunia. Sudah begitu, saya juga kuatir bagaimana nasib orang-orang Islam yang sudah minoritas di sini? Apakah akan menjadi sasaran Islamphobie yang mungkin menjadi bertambah besar? Bagaimana persatuan Prancis. Di atas semua itu, saya menunggu reaksi pemerintah Prancis.


Seminggu berlalu. Bunga-bunga menumpuk di tempat kejadian, juga di pusat tempat distrik paling banyak diserang. Place de la Republique


Prancis meski masih waspada dgn status darurat yg berlaku sampai tiga bulan ke depan, sudah mengalami byk kemajuan. Arsitek teroris attact sudah terbunuh.
Secara umum, pemerintah bertindak dgn baik. Selain dari segi keamanan, juga dalam mengalang persatuan. Di sekolah2, dari mulai kelas taman kanak, penjelasan ttg kejadian ini diberikan. Dari Matheo dan berita, teroris dijelaskan sbg penyebar teror dan pemaksa ideologi. Mereka mengaku Islam tapi TIDAK ADA HUBUNGANNYA dgn Islam yg byk hidup damai di sini. Semangat yg disebarkan adalah Liberté yg tidak boleh dikalahkan oleh rasa takut.

Hari ini para imam bersembahyang di masjid besar dan kecil. Khusus memanjatkan doa bagi para korban. Pesan mereka jelas bahwa Islam itu damai. Media terlihat adil menyiarkan semua berita terkait.


Tentu ada satu dua kasus korban Islam phobie dan juga yg menimpa satu dua kaum juif. Tetapi penanganan peristiwa itu dianggap serius sbg kejahatan. Pemerintah sendiri memiliki sarana bagi pelaporan kasus sejenis.
Dan jangan terlewatkan informasi, meski perbatasan dijaga ketat dan resiko sisipan kaum jihadist, Prancis akan tetap menampung réfugié Syria spt yg dijanjikan. Paling byk di antara negara Eropa lainnya.
Semoga negara yg menjalankan nafas kemanusiaan ini bisa mendapatkan kedamaiannya. Meski sekuler, umat beragama tetap hidup tenang dan sejajar.
J'aime la France.
 Besok Kami akan terus bersuka ria, berdansa, bernyanyi, berbagi. KAMI AKAN TERUS HIDUP 

Thursday, September 17, 2015

Menulis Hal Tabu

MENULIS HAL TABU adalah sesuatu YANG TIDAK TABU.

Setuju dengan pendapat Mbak Ayu Utami dan Mas Stephen King, dalam menulis tidak ada batasan. Yang paling berperan yaitu gimana cara menulisnya.

Dari jenis ragam tulisan, sebetulnya fiksi sudah punya keuntungan dibanding non fiksi yang sering dianggap sebagai pembelajaran atau kenyataan. Misalnya di non fiksi, pernah ribut karena satu buku yang isinya ada tentang tidak perlu ragu bila ingin berhubungan seks sebelum menikah karena itu dorongan yang wajar. Wow. Wow.Wow. Dalam buku non fiksi, hal ini langsung dianggap sebagai pemberian saran yang bertentangan dengan norma dan akhirnya adalah sesuatu yang dicap menyesatkan.

Nah, dalam fiksi. Secara garis besar saja sudah merupakan tulisan yang didasarkan imajinasi. Meskipun ada berdasarkan kisah nyata, tetap saja kita akan bertanya: apa seluruhnya adalah kisah nyata? . Jadi non fiksi sendiri sudah dianggap sesuatu yang belum tentu nyata. Artinya, belum tentu yang tertulis di situ bisa dibahas berdasarkan aturan dan norma kehidupan sehari-hari. Dari segi penulisan pun, kita punya banyak senjata, mulai dari karakter sampa detil cerita.

Memanfaatkan kelebihan itu, kita bisa bebas memainkan tulisan untuk membahas yang tabu. Bila diamati, fiksi sastra memiliki satu senjata yang sangat kuat: seni. Sama seperti lukisan. Gambar telanjang kalau dianggap seni, menjadi tidak bisa dikritik. Cermati deh, karya fiksi sastra, banyak yang jorok-jorok. Adegannya kalau diambil satu dua paragraf saja malah kayak stensilan. Misalnya saja tulisan Mbak Ayu Utami, Djenar Mahesa dsb. Atau kalau ditarik ke jaman yang lebih lampau, punyanya Remi Silado, Soal geisha, beneran ada adegan 'begituannya'. Tapi kenapa dimaafkan pembaca? Karena ya masuk sastra itu. Gimana supaya masuk sastra? Kosa katanya bikin yang cantik, bikin orang terbang-terbang dan nggak ingat lagi untuk memadankan adegan itu dengan alam nyata. Tak jarang juga dicampur dengan konteks kesenian, masukin puisi, pantun, bagian dongeng-dongeng. Dijamin aman :-D

Nah, kalau yang kemampuan sastranya nggak mumpuni gimana? Beberapa trik yang saya pakai dalam novel Segenggam Daun di Tepi La Seine, yang ngomongin keterbukaan. Setting di situ kan ada yang lumayan tabu tuh, pantai nudis dan swing club. Ini yang saya lakukan:
- Membuka diri bahwa itu bukan pengalaman nyata. Untungnya memang ini bukan pengalaman nyata saya karena sayanya penakut. Bisa tulis di Behind the Scene. Dicampur dengan ucapan terimakasih. Kelihatan alami deh! Hehe. (Kelihatan bahwa ini cukup berperan bila melihat dari review blogger yang ada)
- Nuansanya dibikin pasif. Segala yang tabu akan lebih bisa diterima pembaca bila dirasa sebagai pelaporan, macam tulisan jurnalis (Jakarta undercover buktinya). Memang kejadian yang ada di situ dan deskripsi tempat musti ada, dicampur dalam jalan cerita. Nah, kepasifan mulai dipikirkan melalui jalan cerita itu sendiri. Seperti kondisi itu terberi dan tidak ada pilihan lain. Cara yang menuntun logika pembaca. Misalnya ide ke pantai nudis dibuat sebagai ide yang jenius karena merupakan cara yang paling total menikmati cuaca yang cerah.
- Buat seimbang antara yang tabu dengan tidak. Bila tema sudah tabu, adegannya batasi jangan sampai 'over'. Jadi seperti di swingclub, justru adegan seksnya malah dibuat blur. Pembaca diberi imaginasi tetapi nggak sampai kelewatan.
- Yang paling penting adalah Karakter tokoh. Mulai dari tokoh utama, pilih karakternya yang seolah bisa 'menetralisir' detil tabu tersebut. Dalam novel Segenggam Daun, tokoh utama si Ajeng sengaja dibuat pasif. Ini untuk mendukung unsur pelaporan. Pembaca yang sebagian besar perempuan, diperkirakan akan masuk menjadi Ajeng saat membaca novel, maka dia akan nyaman bila dibuat tidak melanggar norma masyarakat yang dianutnya. Oleh sebab itu, Ajeng dibuat punya rasa ingin tahu yang tinggi tapi sebenarnya pemalu dan pasif. Di pantai nudis, dia dibuat riskan dengan kondisi telanjang. Di swing club, dia dibuat terkejut-kejut. Bayangkan kalau tokoh Ajeng memiliki karakter yang enjoy dengan semua itu. Pembaca sepertinya bakal protes: kok ada sih perempuan Indonesia hobi ganti-ganti pasangan gitu? Nakal banget ni orang dsb dsb dsb. Tokoh utama mesum, buku akan dinilai mesum. Bubar jalan semuanya.
- Tokoh-tokoh yang aktif dalam aktifitas tabu tersebut, bisa dicari celah supaya di"maafkan" pembaca. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan mengambarkan latar belakang pribadinya kenapa begitu. Jadi ada unsur "terberi" dan "korban" situasi. Pembaca mudah jatuh hati dengan tokoh yang tak berdaya. Elisabeth dalam seri Milenium, dimaafkan jadi kejam karena korban kekerasan bapaknya. Nah, Alain dan Fina digambarkan hasil dari pola keluarga mereka dulu. Alain dari keluarga yang bebas. Sedang Fina dari keluarga yang menderita karena poligami.

Demikian yang bisa saya sharing saat ini. Bila melihat tingkat keribetannya, mungkin akan ada yang berkomentar untuk lebih baik mencari topik yang aman. Jangan lupakan, bahwa justru hal yang tabu itu menarik perhatian banyak orang. Dorongan ingin tahu itu sesuatu yang manusiawi. Jadi biarpun malu-malu, orang punya kecenderungan tertarik dengan hal yang terlarang. Sixty Shades of Grey deh thu contohnya. Juga dari segi marketing, yang namanya differensiasi.

Terlepas dari situ, memang saya suka dengan topik tabu. Seru saja. Kalau berhasil menyiasatinya, bikin rasa puas banget.

Selamat mencoba!

 # on projek, mau ngomongin tema agama di novel berikutnya. Atheis versus agamais. Eng ing eng #

Friday, August 21, 2015

Beda Nulis sebagai hobi dan Buku

Menulis itu hobi. Buku itu industri.

Menulis dan menerbitkan buku sering kali dianggap sebagai satu garis lurus dan sebuah kesatuan. Bisa punya buku dengan nama tercantum di cover merupakan puncak dari pengakuan kemampuan menulis. Tetapi apakah titik tertinggi itu tidak mengdung konsekuensi? Saya bilang ada. Paling tidak kerena buku terkait dengan penerbit. Yang lalu terhubung dengan kuota penjualan buku. Iya, sebagai penulis kita harus jualan. Wich is nggak bisa lagi sekedar menganggap menulis sebagai hobi tetapi lebih dari itu. Saat omset berbicara, kita nggak bisa seenaknya ngumpet pacaran dengan keyboard huruf-huruf. Kalau sekedar hobi nulis, kita bisa pacaran dengan diri sendiri, tapi kalau sudah ada tumpukan buku di toko berarti kita harus maju. Ini industri. Kita musti muncul.

Maka di situlah saya berada. Create page sambil nyolek-nyolek kontak untuk nge-like. Bikin account Facebook baru yang lebih fokus duniat tulis. Sambil menjaring network juga bisa disapa yang mau kenalan. Twitter, ah ini masih pe-er. Saya nggak suka site ini yang membatasi banyak kebawelan yang bisa ditulis. Dan tentu saja, kalau penerbit mendukung, kita bisa PROMO BUKU.

Novel Segenggam Daun di Tepi La Seine adalah tempat saya berjuang untuk muncul. Exist is a must! Snif... Entah percaya apa nggak, saya sebenarnya lebih senang ngumpet. Nulis di blog ini diam-diam. Nulis sebagai moment kontemplasi. But anyway, saya dulu juga orang marketing. Di buku terdahulu, saya masih jadi diri sendiri. Ngumpet dan hasilnya no network. Sampai satu titik, kok sepertinya saya kurang bersyukur dengan pencapaian itu. Membuat saya sadar, bahwa titel penulis itu adalah pekerjaan. Saya musti memperlakukan diri sebagai penjual. Memarketingkan diri karena buku itu industri.

Lagipula, Novel Segenggam Daun di Tepi La Seine terbit ketika saya mudik yang dua tahun sekali. Masak sih saya nggak memanfaatkan kesempatan itu untuk merayakan hasil keras sebuah naskah yang saya tulis hampir setahun lamanya? Belum lagi proses edit sampai terbit. Nyatanya, saya girang luar biasa saat lihat buku saya bertumpuk-tumpuk di toko buku besar. Dan Promosi ini masih berlanjut. Dimulai dengan Book launching, Siaran di radio, Give away dan i dont know apa lagi yang bisa saya lakukan... Menyebarkan tanda tangan? Hihi.. yang ini saya masih sering ketawa geli. Gimana nggak... dulu kuliah saja malah maunya bisa titip tanda tangan kok ya. Sekarang, sok selebritis ;-P Promo pertama Book launching tentu saja bisa terjadi bila didukung penerbit. Gramedia Pustaka Utama memiliki divisi yang cukup spesifik dan profesional. Mereka yang handle dealing dengan venue, keluar duit untuk snack dan nyiapin atribut promosi di tempat. Sebagai penulis, kita cukup menyediakan MC saja dan beli buku sendiri sebanyak 100 buah. It's not dificult. Buku itu toh bisa kita jual direct.

Here we go... dimulai dengan menyebarkan undangan

Acaranya. Syukurnya lumayan meriah! Undangan pada datang dan full :-D Saya malah lebih cenderung happy bisa melihat kumpulan teman-teman dan kerabat yang dekat dengan saya. Acara diisi dengan presentasi buku dan kuis ( yes, saya nolak acara yang isinya hanya bla-bla dari satu arah) Kuis berhadiah souvenir kecil yang saya tenteng dari Paris. Orang Gramedia bilang acara ini termasuk sukses dengan penjualan yang lumayan. Tuh kan penjualan lagi ujungnya haha

Beberapa pengunjung yang kelihatanya ambil foto. Berasa gimana gitu....


Promo berikutnya berlanjut beberapa hari setelah itu. Gramedia punya kerjasama dengan radio. Sindo Trijaya yang memiliki channel di seluruh Indonesia memawancara saya dalam siaran Penulis Bicara. Tanggapan dari orang-orang yang saya kenal lumayan mengejutkan. Ada yang ngomel karena saya muncul ketika dia lagi cari lagu di dalam mobil di tengah kemacetan. Malah ada juga yang bikin rekaman yang lalu di share di group whatsap. Actualy, i feel it's not that bad to play like a star wkwk. Saya dibikin suprise dengan perhatian yang besar dari kiri kanan yang tidak saya prediksi sebelumnya.


Setelah ini, saya kerjasama dengan seorang pengerak blog mengadakan program Give Away. Para pengejar 'buntelan' , istilah mereka mengejar buku gratis dimaksudkan membuat 'sound' di kalangan penikmat kata. Yah, asik melihat reaksi para peserta atas pertanyaan yang diajukan. Yuks ikutan! Masih berlangsung tuh! sd 22 Sept. Intip Facebook saya deh!


Sementara sekian dulu. Intinya: suka nulis adalah hal yang esensial tetapi kalau sudah melangkah sampai penerbitan, kamu harus siap muncul. Bagi saya, popularitas bukan tujuan utama, melainkan bonus saja. (Untungnya saya jauh dari tenar hihi) . Yang perlu diingat bahwa kita harus terus mawas diri karena di atas langit, masih ada langit. Show yourself like a cofee: at the rigth time with the rigth dose.

Thursday, June 18, 2015

Serge Atlaoui, Anggun dan Hukuman Mati

"Itu Anggun kenapa ya? Cari sensasi atau apa ya?"
"Ngomong-ngomong, kamu jangan ikutan Anggun ya, belain pengedar narkotik".
"Mukanya saja sudah kayak begini. Cocok Serge dihukum mati"
"Hukuman mati bukan pilihan yang terbaik. Sama saja dengan membenarkan pembunuhan."
Dan sebagainya
Dan sebagainya

Sosial Media terutama facebook penuh dengan status yang berkaitan dengan penolakan presiden Jokowi atas permintaan pembatalan hukuman mati terhadap Serge Atlaoui, satu warga Prancis yang divonis akibat pengedaran narkoba.

Image result for serge atlaoui

Terus terang, saya bukan jenis orang yang suka berdiskusi apalagi berdebat tentang hal yang serius-serius secara tertulis begini. Apalagi setahu saya, di sosial media, orang-orang kebanyakan gampang panas. Mungkin karena efek tulisan yang nadanya bisa diterjemahkan tergantung orang yang baca. Dan kebetulan saya juga orang yang sering kali nggak suka berpihak. Netral saja gitu. Sementara di situ, tendensinya, orang berkelompok-kelompok. Well, toh saya ada di sosial media.

Tapi karena saya orang Indonesia yang tinggal di Prancis, nggak luput beberapa pertanyaan mampir ke wall saya. Berhubung facebook di masa itu mainstream, jadi saya nulis di sini saja. Lebih bebas, Lebih konsumsi pribadi haha.

Beberapa point, yang menurut saya perlu dicermati dalam kasus ini:
1. Lain rumah, lain aturan. Begitulah Prancis dan Indonesia. Di Prancis, hukuman mati sudah dihapus sejak lama. Dari sekian banyak peraturan, penghapusan hukuman mati termasuk yang populer, bahkan mentri yang mengesahkan dan pencetus ide, sampai sekarang masih sangat terkenal. Selain itu, versi  yang beredar sangat berbeda dengan di Indonesia, Di Indonesia Serge dipercaya sebagai pemilik pabrik, sedangkan di Prancis Serge diberitakan sebagai teknisi. Jadi seolah dia adalah korban jebakan yang kemudian malah menanggung hukuman mati. Orang Prancis semakin bersimpati atas pengambaran dirinya yang merupakan kepala keluarga empat orang anak, kelas menengah dan pindah di negara kita karena alasan ekonomi. Berasa banget korbannya gitu.
    Ditambah lagi, beredar video tentang proses penjatuhan hukuman mati di Indonesia yang bisa saja salah orang.Kasus Yusman Telaumbanua

seorang yang dijebak membunuh dengan mafia pengadilan yang merubah umur si terdakwa. Kasus yang kemudian baru ketahuan setelah campur tangan mentri hukum kita. Orang Prancis tambah seram: ini negara kok bisa salah sih cabut nyawa orang? Membuat mereka lupa, bahwa di dunia ini nggak hanya Indonesia yang masih memperlakukan hukuman mati. Ada Malaysia bahkan Amerika.

  Ini link kasus tersebut bagi yang belum tahu.
https://www.youtube.com/watch?v=1_GZOxAQY-U

versi panjang

https://www.youtube.com/watch?v=41wmN8E4fPk

2. Secara garis besar, saya merasa bahwa hidup kita sangat disetir oleh media.
  Di periode yang sama, sebenarnya dunia juga berduka hebat. Ada gempa menimpa Nepal yang merenggut korban lebih dari ribuan orang. Kok bisa sibuk dengan satu orang saja? Ada di Afrika, pembantaian mahasiswa, jeder-jeder-jeder, nyawa 147 orang tak  berdosa melayang. Media diam saja. Lalu, bukan merendahkan arti sebuah nyawa, tetapi tidakkah semua itu jauh lebih penting?

3. Persoalan yang dianggap penting di setiap tempat berbeda.
Katakanlah di Prancis, penggunaan narkoba belum menjadi momok. Ada sih, tapi nggak seseram di Indonesia. Persoalan sosial di sini yang lebih mencolok adalah soal teroris yang disebut Jihadist. Atau sekalian tentang politik. Prancis juga sering heboh dengan kasus hilangnya anak. Satu anak hilang, bisa muncul di media selama seminggu.
  Saya sendiri pernah jadi saksi momok narkoba di Indonesia khususnya Jakarta. Ketika itu saya sedang magang dalam pendidikan profesi psikolog. Saya tiap hari datang di pusat rehabilitasi ketergantungan narkotika, di daerah Gatot Subroto. Pendidikan anak-anak yang tidur di barak-barak. Kalau malam, pintu ditutup dari luar. Keseharian mereka yang macam kehidupan militer, bangun, upacara dan segala rutinitas wajib. Plus, meski sudah begitu, memprihatinkan karena kebanyakan adalah anak orang kaya dengan orang tua yang nggak semuanya rajin jenguk mereka. So, intinya apa saya share ini? Intinya adalah bahwa problem narkotika di Indonesia, bukan bertitik di pengedar atau pabrik , tapi juga pendidikan dan pengawasan orang tua. Hmm so complicated, no?

4. Nggak usah jadi terfokus kalau yang ngomong adalah Artis.
  Mereka itu ahli nyanyi, main film, atau juri-juri lomba tampil tetapi sangat sedikit dari mereka ahli politik, hukum, ekonomi dan sejenisnya. So, why you bother with their opinion? Mereka memang punya pengemar banyak, didengar banyak orang. Donn't let them inject their personal thought for the subject that they don't really understand. Anggun is Anggun. She is not the expert for this kind issue.


Wednesday, December 31, 2014

Hari Ibu

Hari Ibu yang lalu dan setiap akan Hari Ibu.

Setiap pagi di hari ibu, saya menjadi orang yang paling berbahagia. Saya membayangkan anak saya mengucapkan 'Selamat Hari Ibu' dan membanggakan peran saya sebagai seorang ibu. Sekali lagi, itu di pagi hari. Mulai siang, saya merasa narsis karena cuma menyanjung jasa diri sendiri ke anak saya *boleh deh diketawain haha*. Mulalah saya berusaha lebih 'normatif' mikirin ibu saya. Loh kok susah wkwk *emang anak kurang ajar*. Lalu, saya dihajar berbagai flashback: saya  nyaris nggak pernah 'dipegang' ibu. Sampai umur 10 thn, saya identik anak bapak dan masa kecil saya habis dengan pembantu atau baby sitter. Saya cuma ingat ibu sebagai orang yang ngejar-ngejar suruh makan yang nggak saya suka macam pizza dan duren.

Lalu orang tua bercerai. Saya diculik bokap. Hiduplah saya dengan ibu tiri, Yang tidak jahat tapi tidak hangat. Bapak saya punya politik yang cukup kejam: kalau kami nggak minta diantear ketemu ibu, dia kasih uang saku lebih. So jaranglah kami sambang. Saya pun jenis anak yang datar perasaan (mungkin kebanyakan denial). Kalau ketemu ibu, saya bingung mo ngomong apa. Tahun-tahun terakhir masa hidup ibu, dia tinggal serumah sama kami. Tapi yang saya ingat, ibu saya lebih sering nyindir karena saya galak nggak bolehin dia makan yang enak-enak. Lah dia kena diabetes akut dan darah tinggi. Saya nggak pernah jadi favorit ibu dan saya nggak pernah beneran ngerasa dekat dengan ibu. Yang pasti, tiap hari ibu, rasanya datar saja. Saya nggak pernah ngucapin apa-apa ke dia. Yah namanya juga anak kurang ajar. Saya cuma sempat takut karena surga di telapak kaki ibu tapi yah waktu itu saya belum kenal gimana kasih pijat refleksi haha.

Lalu hidup terus bergulir. Saya punya anak. Saya yang tomboi jadi ibu. Ketika melahirkan dan nyusuin anak saya, barulah saya dihantam lagi ingatan tentang ibu. Do you how i feel then? It's hurt! Rasanya saya mau bersujud dimakamnya. Mau bilang how i love her and how i feel sorry. But it's too late.. Dia sudah nggak ada. Tapi saya tahu bahwa cinta ibu nggak pernah pupus walau nggak pernah diperlihatkan. Seperti saya mencintai anak saya sendiri. Sejak jadi ibu, begitulah siklus yang selalu saya alami.

Dan setiap sehari setelah hari ibu, saya akan membatin "Happy belated mother's day Mom. You should know that i love you. But i was too stupid to realize that".