Thursday, September 17, 2015

Menulis Hal Tabu

MENULIS HAL TABU adalah sesuatu YANG TIDAK TABU.

Setuju dengan pendapat Mbak Ayu Utami dan Mas Stephen King, dalam menulis tidak ada batasan. Yang paling berperan yaitu gimana cara menulisnya.

Dari jenis ragam tulisan, sebetulnya fiksi sudah punya keuntungan dibanding non fiksi yang sering dianggap sebagai pembelajaran atau kenyataan. Misalnya di non fiksi, pernah ribut karena satu buku yang isinya ada tentang tidak perlu ragu bila ingin berhubungan seks sebelum menikah karena itu dorongan yang wajar. Wow. Wow.Wow. Dalam buku non fiksi, hal ini langsung dianggap sebagai pemberian saran yang bertentangan dengan norma dan akhirnya adalah sesuatu yang dicap menyesatkan.

Nah, dalam fiksi. Secara garis besar saja sudah merupakan tulisan yang didasarkan imajinasi. Meskipun ada berdasarkan kisah nyata, tetap saja kita akan bertanya: apa seluruhnya adalah kisah nyata? . Jadi non fiksi sendiri sudah dianggap sesuatu yang belum tentu nyata. Artinya, belum tentu yang tertulis di situ bisa dibahas berdasarkan aturan dan norma kehidupan sehari-hari. Dari segi penulisan pun, kita punya banyak senjata, mulai dari karakter sampa detil cerita.

Memanfaatkan kelebihan itu, kita bisa bebas memainkan tulisan untuk membahas yang tabu. Bila diamati, fiksi sastra memiliki satu senjata yang sangat kuat: seni. Sama seperti lukisan. Gambar telanjang kalau dianggap seni, menjadi tidak bisa dikritik. Cermati deh, karya fiksi sastra, banyak yang jorok-jorok. Adegannya kalau diambil satu dua paragraf saja malah kayak stensilan. Misalnya saja tulisan Mbak Ayu Utami, Djenar Mahesa dsb. Atau kalau ditarik ke jaman yang lebih lampau, punyanya Remi Silado, Soal geisha, beneran ada adegan 'begituannya'. Tapi kenapa dimaafkan pembaca? Karena ya masuk sastra itu. Gimana supaya masuk sastra? Kosa katanya bikin yang cantik, bikin orang terbang-terbang dan nggak ingat lagi untuk memadankan adegan itu dengan alam nyata. Tak jarang juga dicampur dengan konteks kesenian, masukin puisi, pantun, bagian dongeng-dongeng. Dijamin aman :-D

Nah, kalau yang kemampuan sastranya nggak mumpuni gimana? Beberapa trik yang saya pakai dalam novel Segenggam Daun di Tepi La Seine, yang ngomongin keterbukaan. Setting di situ kan ada yang lumayan tabu tuh, pantai nudis dan swing club. Ini yang saya lakukan:
- Membuka diri bahwa itu bukan pengalaman nyata. Untungnya memang ini bukan pengalaman nyata saya karena sayanya penakut. Bisa tulis di Behind the Scene. Dicampur dengan ucapan terimakasih. Kelihatan alami deh! Hehe. (Kelihatan bahwa ini cukup berperan bila melihat dari review blogger yang ada)
- Nuansanya dibikin pasif. Segala yang tabu akan lebih bisa diterima pembaca bila dirasa sebagai pelaporan, macam tulisan jurnalis (Jakarta undercover buktinya). Memang kejadian yang ada di situ dan deskripsi tempat musti ada, dicampur dalam jalan cerita. Nah, kepasifan mulai dipikirkan melalui jalan cerita itu sendiri. Seperti kondisi itu terberi dan tidak ada pilihan lain. Cara yang menuntun logika pembaca. Misalnya ide ke pantai nudis dibuat sebagai ide yang jenius karena merupakan cara yang paling total menikmati cuaca yang cerah.
- Buat seimbang antara yang tabu dengan tidak. Bila tema sudah tabu, adegannya batasi jangan sampai 'over'. Jadi seperti di swingclub, justru adegan seksnya malah dibuat blur. Pembaca diberi imaginasi tetapi nggak sampai kelewatan.
- Yang paling penting adalah Karakter tokoh. Mulai dari tokoh utama, pilih karakternya yang seolah bisa 'menetralisir' detil tabu tersebut. Dalam novel Segenggam Daun, tokoh utama si Ajeng sengaja dibuat pasif. Ini untuk mendukung unsur pelaporan. Pembaca yang sebagian besar perempuan, diperkirakan akan masuk menjadi Ajeng saat membaca novel, maka dia akan nyaman bila dibuat tidak melanggar norma masyarakat yang dianutnya. Oleh sebab itu, Ajeng dibuat punya rasa ingin tahu yang tinggi tapi sebenarnya pemalu dan pasif. Di pantai nudis, dia dibuat riskan dengan kondisi telanjang. Di swing club, dia dibuat terkejut-kejut. Bayangkan kalau tokoh Ajeng memiliki karakter yang enjoy dengan semua itu. Pembaca sepertinya bakal protes: kok ada sih perempuan Indonesia hobi ganti-ganti pasangan gitu? Nakal banget ni orang dsb dsb dsb. Tokoh utama mesum, buku akan dinilai mesum. Bubar jalan semuanya.
- Tokoh-tokoh yang aktif dalam aktifitas tabu tersebut, bisa dicari celah supaya di"maafkan" pembaca. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan mengambarkan latar belakang pribadinya kenapa begitu. Jadi ada unsur "terberi" dan "korban" situasi. Pembaca mudah jatuh hati dengan tokoh yang tak berdaya. Elisabeth dalam seri Milenium, dimaafkan jadi kejam karena korban kekerasan bapaknya. Nah, Alain dan Fina digambarkan hasil dari pola keluarga mereka dulu. Alain dari keluarga yang bebas. Sedang Fina dari keluarga yang menderita karena poligami.

Demikian yang bisa saya sharing saat ini. Bila melihat tingkat keribetannya, mungkin akan ada yang berkomentar untuk lebih baik mencari topik yang aman. Jangan lupakan, bahwa justru hal yang tabu itu menarik perhatian banyak orang. Dorongan ingin tahu itu sesuatu yang manusiawi. Jadi biarpun malu-malu, orang punya kecenderungan tertarik dengan hal yang terlarang. Sixty Shades of Grey deh thu contohnya. Juga dari segi marketing, yang namanya differensiasi.

Terlepas dari situ, memang saya suka dengan topik tabu. Seru saja. Kalau berhasil menyiasatinya, bikin rasa puas banget.

Selamat mencoba!

 # on projek, mau ngomongin tema agama di novel berikutnya. Atheis versus agamais. Eng ing eng #