Tuesday, May 10, 2011

CATATAN MUDIK DI RUMAH

Catatan ini sudah saya buat berbulan lalu, tetapi sempat hilang dan terselip. Sebuah pengalaman selama dua bulan di Indonesia 2010, dalam kerangka pulang kampung dua tahun sekali.

--
Pelaku pertama yang langsung membuat saya sadar di Indonesia adalah Pembantu.

Mereka salah satu yang paling saya rindukan selama tinggal di Prancis. Hidup jadi upik abu itu gimanapun juga berat oi! Tangan kapalan, pundak pegal pegal, otot bermunculan, mah sudah pasti. Tapi disisi lain, kami jadi terbiasa kerja keras. Nah di jakarta ini, sampai di rumah orang tua, saya langsung dikerubuti dua orang pembantu, yg satu membawakan tas, yang lainnya menawari minuman. 'Es teh manis ya' lalu saya duduk. Dan kemudian bapak datang, ngobrol, setengah jam kemudian, masih duduk, dan 2 jam kemudian tetap dalam kondisi duduk. Pembicaraan mulai habis. Saya melihat kiri kanan. Kalau di rumah di Prancis pasti waktu 2 jam itu sudah harus dipakai untuk cuci baju, mengibaskan debu, menyapu dan mungkin memotong bunga mati dikebun. Saya perlahan mulai sadar, oh iya, jadi majikan di Indonesia kan tugasnya memang duduk saja. Kalau bergerak sedikit, para pembantu akan gusar seolah merasa tidak dibutuhkan.

Gila, seharian duduk. Apa sanggup ya? Apa nggak mati bosen nih.
Ohya , nonton tivi. Tapi kalau acaranya nggak enak, duduk juga?
Berbagai tanya jawab berlangsung di kepala saya.

Kemudian waktu makan tiba. Piring sudah disediakan, tinggal menyendok nasi. Hangat pula! Sungguh suatu kemewahan liburan, kalau sehari hari, mana mungkin bisa begini, mau makan ya masak dulu. Mau bubur ayam? Baru siap di mangkok pas rasa lapar udah ngabur jauh jauh.

Selama di meja makan, berbagai drama terjadi: adik saya berteriak minta sendok kecil, bapak saya ribut makanannya kurang hangat, anak saya sibuk mau disuapi. Saya bengong. Sudah nggak terbiasa rupanya. Saat saya berdiri, ada pembantu yang menanyai 'cari apa mbak?' 'ini sendok sayur' 'iya mbak, aku ambilkan' saya mulai senyum, kapan lagi merasa kalau bergerak 10 meter menjadi dosa besar?

Beberapa hari kemudian, saat saya ikut les membuat kue, sang guru pernah berteriak teriak.

« Lita!!! Kesini » begitu berulang selama 7 menit karena sang pembantunya belum muncul juga

'Kemana sih thu orang' omelnya lagi

saya sempat berpikir kalau dia perlu sesuatu yang super penting, seperti minta diangkatkan koper 25 kg misalnya.

Akhirnya saat pembantunya muncul, saya tau alasan misuh misuhnya

'Tolong ambilin air es di kulkas, buat campuran adonan!'

Oalah! Emang bener sih jarak kulkas ke tempat dia duduk beneran krusial: 10 meter!

Gimana kalau dia jadi saya ya, yang hampir tiap hari menghabiskan waktu 30 menit buat jalan, beli roti, kadang ke kantor pos. Lah disini nggak ada pembantu yang tinggal teriak gitu. Padahal, sesungguhnya yang dilakukan teman saya itu hanyalah menghindari dosa besar tadi.

Tapi akhirnya saya sampai pada penemuan paling keren di mudik kali ini: Pembantu juga punya Hierarki!

Yang saya temui (baca: urutan disusun atas derajat kekuasaan):
Kepala pembantu
Pembantu biasa
Pembantu tambahan (ini khusus disediakan untuk menyambut kedatangan saya, kata adik saya yang berbaik hati, supaya anak saya bisa dijaga mereka)

Hierarki ini ternyata beneran berjalan sempurna. Suatu kali saya mengomel karena ada kotoran anjing lupa dibersihkan di lantai

'Desi, ini coba dibersihin dong. Kalau bau banget begini, ntar Matheo ijek bagaimana?' sambil bilang begini, saya sambil tersenyum dalam hati 'hehe here i'am. My old days come back'

'iya mbak, saya pel segera' si Desi bogel tergopoh gopoh seperti baru ketangkap menilap jambu biji tetangga.

Yang terjadi kemudian ternyata adalah si Desi yang jabatan Pembantu biasa ini diomeli mbak Dini yang berpangkat Kepala pembantu 'elo sih Des JOROK!'

Mungkin nggak terima dikata katai tapi kurang kuasaan untuk membalas, dia memanggil si Pembantu tambahan yang masih merupakan saudara jauhnya. Teriakannya lebih keras dari pada teguran saya kepadanya.

'Bii Parmi! Gih pel ini lantai! Panggil sekalian si Entin (anaknya yang suka ikut nongkrong emaknya). Pake ember aja, sama kasih pembersih lantai yang banyak, biar kagak bau! AYO CEPETAN! Jangan diem aje! ELO JUGA NTIN, PLONGAK PLONGOK MELULU!'

Saya yang menyaksikan semua terkikik geli sendiri. Ternyata pembantu di Indonesia ternyata menyimpan potensi menjadi bos. Luar biasa!

Saya langsung membatin, andaikata mereka bisa membayangkan bagaimana hidup saya disini, pasti mereka akan protes dalam hati 'mbak mbak, sama sama pembantu aja pake kasih perintah segala'

Kehidupan kantor yang ada di dalam kehidupan para pembantu, diperkuat dengan obrolan para majikan yang notebene sekarang merupakan sebagaian besar kehidupan para teman saya.

Pembantu gue pada berantem
Pembantu gue iri irian.
Pembantu gue nggak rukun sama supir gue

dan berbagai intrik dasyat lainnya

Sambil hanya bisa mendengarkan dan nggak kuasa nimbrung, saya sekali lagi membatin. Punya pembantu atau jadi pembantu, sama repotnya sama ribetnya

CATATAN MUDIK DI LUAR RUMAH

Catatan ini sudah saya buat berbulan-bulan lalu, tetapi sempat hilang dan terselip. Sebuah pengalaman selama dua bulan di Indonesia 2010, dalam kerangka pulang kampung dua tahun sekali.

--
Saat pulang kampung merupakan masa bernostalgia. Berada dan bernafas di tempat kita dibesarkan. Pelepas rindu semua hal yang sering dirasa kehilangan selama tinggal di negeri orang. Namun yang mengherankan, beberapa hal terasa berubah. Mungkin memang begitu adanya atau kacamata saya lah yang telah bergeser. Mau tak mau, saya berubah menjadi « mentang mentang, tinggal di luar negeri! » aie!



Tinggal di Paris, manusia banyak, itu pasti. Penduduknya berjumlah 2 juta jiwa minus turis. Namun angka ini menjadi tak berarti bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Jakarta yang mencapai 22 juta nyawa padahal luas daerah yang ditempati pun tidak jauh berbeda. Maka tak heran, di Indonesia level penunjang hidup seakan 'tertangani dengan baik', terutama dalam hal service.

DI JALAN
Menyeberang jalan merupakan momen yang menegangkan dalam keseharian di tanah air. Di mata saya motor yang lalu lalang bagai gerombolan lebah yang siap menyerang. Padahal dulu saya adalah bodyguart teman-teman perempuan dan berjalan di sisi kanan setiap kali melintas jalanan.

Saya juga disambut pangilan mesra para tukang ojek. Bosan dengan macet di dalam taksi, saya memang akhirnya balik jadi pelanggan sementara mas ojek. Dan semua berulang seperti berada dalam drama komedi. Pak ojek mencari helm pinjaman dulu, melintas jemuran orang, melalui jalan setapak di dalam kuburan, menyalip kiri kanan dan menakuti orang yang hendak menyebrang. Service tak jarang diberikan dengan melanggar rambu lalu lintas demi mengantarkan saya ke tempat yang hendak di capai. Belum lagi tambahan bonus wanginya helm mereka di kepala. Alamak!

DI SALON
Untuk urusan pelayanan kecantikan. That's the best thing ever! Potong rambut, pijat, creambath, manicure dan pedicure tinggal pilih, harga terjangkau. Ketahuilah, di salon negeri Eropa, anda tak kurang harus membayar berlipat-lipat. Dan juga service macam creambath tidak ada. Pijat biasanya hanya tersedia di tempat khusus yang punya nama khusus pula 'Espece Detendre' alias tempat rileksasi dengan tarif sejamnya sekitar 60-80 euros! Maka agenda pergi ke salon memang merupakan hal yang mutlak bila pulang kampung. Dan saya akan sengaja memesan semua service itu sehingga saya akan dikerubungi orang yang sedang melayani saya. Menjadi ratu dua tiga jam!

DI RESTORAN
Begitu langkah kaki mendekati sebuah restoran, pintu biasanya sudah langsung terbuka. Bukan otomatis tetapi karena ada seseorang yang membukakan pintu. Pelayan banyak dengan moto kerja 'kepuasaan klien adalah yang utama'. Telinga saya serasa harus beradaptasi ulang terhadap kalimat semacam:

« Mbak, Mbak. Minta menunya dong »
semenit kemudian
« Pesen ini itu, NGGAK PAKE LAMA »
15 menit kemudian
« Kok nggak keluar keluar pesenan kami. Nggak LUPA KAN?! »
« Meja samping malah udah duluan dapat. GIMANA SIH! »

Bandingkan dengan di Prancis sini, kita sering harus bersabar menunggu bahkan pernah sampai 30 menit untuk sekedar didatangi pelayan. Bukankah kalimat diatas menjadi baru lagi?

Ingatan saya bolak balik ke masa bulan-bulan pertama saya hidup di Prancis. Duluu, suami saya harus mengusap-usap pundak saya karena muka saya selalu saja menjadi merah padam dan bibir saya sudah mau berteriak. Gimana tidak, pelayan yang jumlahnya sedikit itu lah yang raja. Bukan klien. Kita tidak boleh inisiatif memanggil mereka, sebelum mereka yang menghampiri kita dan berkata 'Bonjour'. Kemudian setiap mau pesan sesuatu, tentunya menunggu mereka menghampiri meja kita, yang artinya bisa sampai berpuluh puluh menit, karena tidak jarang mereka mementingkan membersihkan meja yang kotor dulu agar bisa diduduki lagi. Kata suami saya karena disini tenaga kerja mahal plus pajak.

Pernah juga saya dan teman saya, dipelototi beberapa pengunjung karena lupa menaruh nampan dan membuang sisa makanan ke tong sampah. Gimana tidak, di Indonesia kan pelayan siap membungkuskan sisa makanan kita dengan dalil 'buat anjing di rumah' atau 'sayang masih banyak'


DI TOKO
Gila ya! Sebenarnya konsep pelayanan yang sempurna tuh ya yang ada di Asia. Klien langsung dihampiri, ditawari butuh informasi apa. Begitu memilih juga ada yang menemani. Dan bawaan kita langsung di jinjingi oleh mereka. Serasa seperti raja.

Saya sempat dibikin takjub oleh pelayanan salah satu toko mainan -yg mungkin nggak ada anehnya buat pribadi saya yang dulu – Mainan pilihan yang beratnya nggak lebih dari 500 gr, dibawakan satu mbak yang jaga. Kami berjalan sekitar 2 meter, sampai kemudian ada satu orang yang berkata kepada pelayan tadi

« Sini Mbak, saya bawain » dan mainan pun berpindah tangan.
Saya pikir kasirnya bakalan berada di terminal lain yang jauhnya kayak terminal A ke C di bandara Sukarno Hatta, tetapi ternyata kami sampai setelah melangkah lagi sekitar 3 meter! Haha. Lega hati saya, akhirnya kami sampai ke kasir!

--
Begitulah seterusnya. Kemudian di akhir bulan kedua, saya sudah mulai terbiasa dengan segala pelayanan ini, sampailah saya dan anak saya di bandara Charles de Gaulle, Paris. Saat itu, anak saya kelihatan butuh cemilan, jadi kami mampir dulu ke sebuah Patiserrie. Pelayannya ada dua, yang satu ngobrol dengan salah seorang klien, yang satunya ikut nimbrung. Mereka pasti menyadari kedatangan kami karena hanya kami dan klien itu yang ada disitu. Tapi mereka terus mengobrol, meski saya sudah berkata 'Bonjour' -tidak tahan menunggu ditegur dulu. Akhirnya ketika mereka melayani kami setelah kami bengong selama 5 menit, saya hanya bisa membatin 'WELCOME HOME!'