Friday, November 20, 2015

Paris Bermandi Tragedi

Paris Berduka.

Friday the thirteen. 13 November 2015. Blood everywhere. And here we go my own story.

Jumat itu saya pulang bekerja di sebuah tempat di Paris distrik 11. Yang seharusnya pulang jam 20.30, hari itu klien kosong sehingga saya bisa pulang jam 19.15. Setiba di rumah, anak saya meloncat-loncat kegirangan. Saya gembira melihatnya. Suami saya gembira. Kami bahagia menikmati malam dengan menonton pertandingan bola Prancis - Jerman di Stade de France di televisi. Jam 22.30 kami semua tidur kecapean.

Besok paginya, saya menerima telephone, sms, dari teman di Prancis dan Indonesia. Saya masih belum tahu apa2. Sampai saya pergi ke stasiun kereta untuk menunggu bisa pergi kerja ke Paris lagi. Lalu sampailah sms bahwa hari ini diliburkan. Dan baru saat itu saya tahu segenap tragedi yang terjadi di malam sebelumnya.

Suami saya menyambut kepulangan saya dengan mata berkaca-kaca. C'est affreux! C'était affreux! Menakutkan! Katanya.

Kami tinggal di pinggiran. Seperti Depok yang menempel ke Jakarta. Tapi Paris itu kota kami. Paru-paru kami saat sedang suntuk pada rutinitas, saat ingin menikmati malam berdua. Menelusuri jalan-jalan terpal yang selalu ramai. Duduk-duduk di café. Bersantai di bar atau pun menonton thêater. Sesekali nonton konser. Dan malam itu, tragedi terjadi serentak menguncang 7 tempat di Paris, dengan sasaran warga biasa seperti kami.  Sejak itu kehidupan kami menjadi mencekam terutama bayangan yang berputar di kepala saya: bagaimana jika kami yang menjadi korban dan anak kami menjadi yatim piatu? Bagaimana bila nanti anak kami yang mulai besar dan menjadi korban kita kumpul2 dengan temannya? 

Dunia Internasional menunjukkan perhatiannya. Indonesia juga. Meski, yah begitulah, tidak semuanya. Banyak yang berkomentar miring. Biar saja Prancis celaka, mereka tidak punya agama. Itulah akibat dunia barat ikut campur dengan dunia lain aka negara2 Arab. Tidak perlu simpati karena lebih baik bersimpati pada sesama negara muslim. 

Saya sempat menjadi lebih terpuruk. Sudah takut karena baru kali ini serangan teroris membabi buta, ditambah dengan perdebatan sengit yang seolah-olah tidak perduli pada duka orang lain. Salahkah Prancis? Mungkin. Tetapi coba lebih kritis. Prancis tidak ikut dalam pengeboman dulu di Irak yang disinyalir menjadi cikal bakal berkembangnya kubu militan yang kemudian menjelma menjadi Isis. Prancis semata punya Paris, yang disorot dunia. Sudah begitu, saya juga kuatir bagaimana nasib orang-orang Islam yang sudah minoritas di sini? Apakah akan menjadi sasaran Islamphobie yang mungkin menjadi bertambah besar? Bagaimana persatuan Prancis. Di atas semua itu, saya menunggu reaksi pemerintah Prancis.


Seminggu berlalu. Bunga-bunga menumpuk di tempat kejadian, juga di pusat tempat distrik paling banyak diserang. Place de la Republique


Prancis meski masih waspada dgn status darurat yg berlaku sampai tiga bulan ke depan, sudah mengalami byk kemajuan. Arsitek teroris attact sudah terbunuh.
Secara umum, pemerintah bertindak dgn baik. Selain dari segi keamanan, juga dalam mengalang persatuan. Di sekolah2, dari mulai kelas taman kanak, penjelasan ttg kejadian ini diberikan. Dari Matheo dan berita, teroris dijelaskan sbg penyebar teror dan pemaksa ideologi. Mereka mengaku Islam tapi TIDAK ADA HUBUNGANNYA dgn Islam yg byk hidup damai di sini. Semangat yg disebarkan adalah Liberté yg tidak boleh dikalahkan oleh rasa takut.

Hari ini para imam bersembahyang di masjid besar dan kecil. Khusus memanjatkan doa bagi para korban. Pesan mereka jelas bahwa Islam itu damai. Media terlihat adil menyiarkan semua berita terkait.


Tentu ada satu dua kasus korban Islam phobie dan juga yg menimpa satu dua kaum juif. Tetapi penanganan peristiwa itu dianggap serius sbg kejahatan. Pemerintah sendiri memiliki sarana bagi pelaporan kasus sejenis.
Dan jangan terlewatkan informasi, meski perbatasan dijaga ketat dan resiko sisipan kaum jihadist, Prancis akan tetap menampung réfugié Syria spt yg dijanjikan. Paling byk di antara negara Eropa lainnya.
Semoga negara yg menjalankan nafas kemanusiaan ini bisa mendapatkan kedamaiannya. Meski sekuler, umat beragama tetap hidup tenang dan sejajar.
J'aime la France.
 Besok Kami akan terus bersuka ria, berdansa, bernyanyi, berbagi. KAMI AKAN TERUS HIDUP 

Thursday, September 17, 2015

Menulis Hal Tabu

MENULIS HAL TABU adalah sesuatu YANG TIDAK TABU.

Setuju dengan pendapat Mbak Ayu Utami dan Mas Stephen King, dalam menulis tidak ada batasan. Yang paling berperan yaitu gimana cara menulisnya.

Dari jenis ragam tulisan, sebetulnya fiksi sudah punya keuntungan dibanding non fiksi yang sering dianggap sebagai pembelajaran atau kenyataan. Misalnya di non fiksi, pernah ribut karena satu buku yang isinya ada tentang tidak perlu ragu bila ingin berhubungan seks sebelum menikah karena itu dorongan yang wajar. Wow. Wow.Wow. Dalam buku non fiksi, hal ini langsung dianggap sebagai pemberian saran yang bertentangan dengan norma dan akhirnya adalah sesuatu yang dicap menyesatkan.

Nah, dalam fiksi. Secara garis besar saja sudah merupakan tulisan yang didasarkan imajinasi. Meskipun ada berdasarkan kisah nyata, tetap saja kita akan bertanya: apa seluruhnya adalah kisah nyata? . Jadi non fiksi sendiri sudah dianggap sesuatu yang belum tentu nyata. Artinya, belum tentu yang tertulis di situ bisa dibahas berdasarkan aturan dan norma kehidupan sehari-hari. Dari segi penulisan pun, kita punya banyak senjata, mulai dari karakter sampa detil cerita.

Memanfaatkan kelebihan itu, kita bisa bebas memainkan tulisan untuk membahas yang tabu. Bila diamati, fiksi sastra memiliki satu senjata yang sangat kuat: seni. Sama seperti lukisan. Gambar telanjang kalau dianggap seni, menjadi tidak bisa dikritik. Cermati deh, karya fiksi sastra, banyak yang jorok-jorok. Adegannya kalau diambil satu dua paragraf saja malah kayak stensilan. Misalnya saja tulisan Mbak Ayu Utami, Djenar Mahesa dsb. Atau kalau ditarik ke jaman yang lebih lampau, punyanya Remi Silado, Soal geisha, beneran ada adegan 'begituannya'. Tapi kenapa dimaafkan pembaca? Karena ya masuk sastra itu. Gimana supaya masuk sastra? Kosa katanya bikin yang cantik, bikin orang terbang-terbang dan nggak ingat lagi untuk memadankan adegan itu dengan alam nyata. Tak jarang juga dicampur dengan konteks kesenian, masukin puisi, pantun, bagian dongeng-dongeng. Dijamin aman :-D

Nah, kalau yang kemampuan sastranya nggak mumpuni gimana? Beberapa trik yang saya pakai dalam novel Segenggam Daun di Tepi La Seine, yang ngomongin keterbukaan. Setting di situ kan ada yang lumayan tabu tuh, pantai nudis dan swing club. Ini yang saya lakukan:
- Membuka diri bahwa itu bukan pengalaman nyata. Untungnya memang ini bukan pengalaman nyata saya karena sayanya penakut. Bisa tulis di Behind the Scene. Dicampur dengan ucapan terimakasih. Kelihatan alami deh! Hehe. (Kelihatan bahwa ini cukup berperan bila melihat dari review blogger yang ada)
- Nuansanya dibikin pasif. Segala yang tabu akan lebih bisa diterima pembaca bila dirasa sebagai pelaporan, macam tulisan jurnalis (Jakarta undercover buktinya). Memang kejadian yang ada di situ dan deskripsi tempat musti ada, dicampur dalam jalan cerita. Nah, kepasifan mulai dipikirkan melalui jalan cerita itu sendiri. Seperti kondisi itu terberi dan tidak ada pilihan lain. Cara yang menuntun logika pembaca. Misalnya ide ke pantai nudis dibuat sebagai ide yang jenius karena merupakan cara yang paling total menikmati cuaca yang cerah.
- Buat seimbang antara yang tabu dengan tidak. Bila tema sudah tabu, adegannya batasi jangan sampai 'over'. Jadi seperti di swingclub, justru adegan seksnya malah dibuat blur. Pembaca diberi imaginasi tetapi nggak sampai kelewatan.
- Yang paling penting adalah Karakter tokoh. Mulai dari tokoh utama, pilih karakternya yang seolah bisa 'menetralisir' detil tabu tersebut. Dalam novel Segenggam Daun, tokoh utama si Ajeng sengaja dibuat pasif. Ini untuk mendukung unsur pelaporan. Pembaca yang sebagian besar perempuan, diperkirakan akan masuk menjadi Ajeng saat membaca novel, maka dia akan nyaman bila dibuat tidak melanggar norma masyarakat yang dianutnya. Oleh sebab itu, Ajeng dibuat punya rasa ingin tahu yang tinggi tapi sebenarnya pemalu dan pasif. Di pantai nudis, dia dibuat riskan dengan kondisi telanjang. Di swing club, dia dibuat terkejut-kejut. Bayangkan kalau tokoh Ajeng memiliki karakter yang enjoy dengan semua itu. Pembaca sepertinya bakal protes: kok ada sih perempuan Indonesia hobi ganti-ganti pasangan gitu? Nakal banget ni orang dsb dsb dsb. Tokoh utama mesum, buku akan dinilai mesum. Bubar jalan semuanya.
- Tokoh-tokoh yang aktif dalam aktifitas tabu tersebut, bisa dicari celah supaya di"maafkan" pembaca. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan mengambarkan latar belakang pribadinya kenapa begitu. Jadi ada unsur "terberi" dan "korban" situasi. Pembaca mudah jatuh hati dengan tokoh yang tak berdaya. Elisabeth dalam seri Milenium, dimaafkan jadi kejam karena korban kekerasan bapaknya. Nah, Alain dan Fina digambarkan hasil dari pola keluarga mereka dulu. Alain dari keluarga yang bebas. Sedang Fina dari keluarga yang menderita karena poligami.

Demikian yang bisa saya sharing saat ini. Bila melihat tingkat keribetannya, mungkin akan ada yang berkomentar untuk lebih baik mencari topik yang aman. Jangan lupakan, bahwa justru hal yang tabu itu menarik perhatian banyak orang. Dorongan ingin tahu itu sesuatu yang manusiawi. Jadi biarpun malu-malu, orang punya kecenderungan tertarik dengan hal yang terlarang. Sixty Shades of Grey deh thu contohnya. Juga dari segi marketing, yang namanya differensiasi.

Terlepas dari situ, memang saya suka dengan topik tabu. Seru saja. Kalau berhasil menyiasatinya, bikin rasa puas banget.

Selamat mencoba!

 # on projek, mau ngomongin tema agama di novel berikutnya. Atheis versus agamais. Eng ing eng #

Friday, August 21, 2015

Beda Nulis sebagai hobi dan Buku

Menulis itu hobi. Buku itu industri.

Menulis dan menerbitkan buku sering kali dianggap sebagai satu garis lurus dan sebuah kesatuan. Bisa punya buku dengan nama tercantum di cover merupakan puncak dari pengakuan kemampuan menulis. Tetapi apakah titik tertinggi itu tidak mengdung konsekuensi? Saya bilang ada. Paling tidak kerena buku terkait dengan penerbit. Yang lalu terhubung dengan kuota penjualan buku. Iya, sebagai penulis kita harus jualan. Wich is nggak bisa lagi sekedar menganggap menulis sebagai hobi tetapi lebih dari itu. Saat omset berbicara, kita nggak bisa seenaknya ngumpet pacaran dengan keyboard huruf-huruf. Kalau sekedar hobi nulis, kita bisa pacaran dengan diri sendiri, tapi kalau sudah ada tumpukan buku di toko berarti kita harus maju. Ini industri. Kita musti muncul.

Maka di situlah saya berada. Create page sambil nyolek-nyolek kontak untuk nge-like. Bikin account Facebook baru yang lebih fokus duniat tulis. Sambil menjaring network juga bisa disapa yang mau kenalan. Twitter, ah ini masih pe-er. Saya nggak suka site ini yang membatasi banyak kebawelan yang bisa ditulis. Dan tentu saja, kalau penerbit mendukung, kita bisa PROMO BUKU.

Novel Segenggam Daun di Tepi La Seine adalah tempat saya berjuang untuk muncul. Exist is a must! Snif... Entah percaya apa nggak, saya sebenarnya lebih senang ngumpet. Nulis di blog ini diam-diam. Nulis sebagai moment kontemplasi. But anyway, saya dulu juga orang marketing. Di buku terdahulu, saya masih jadi diri sendiri. Ngumpet dan hasilnya no network. Sampai satu titik, kok sepertinya saya kurang bersyukur dengan pencapaian itu. Membuat saya sadar, bahwa titel penulis itu adalah pekerjaan. Saya musti memperlakukan diri sebagai penjual. Memarketingkan diri karena buku itu industri.

Lagipula, Novel Segenggam Daun di Tepi La Seine terbit ketika saya mudik yang dua tahun sekali. Masak sih saya nggak memanfaatkan kesempatan itu untuk merayakan hasil keras sebuah naskah yang saya tulis hampir setahun lamanya? Belum lagi proses edit sampai terbit. Nyatanya, saya girang luar biasa saat lihat buku saya bertumpuk-tumpuk di toko buku besar. Dan Promosi ini masih berlanjut. Dimulai dengan Book launching, Siaran di radio, Give away dan i dont know apa lagi yang bisa saya lakukan... Menyebarkan tanda tangan? Hihi.. yang ini saya masih sering ketawa geli. Gimana nggak... dulu kuliah saja malah maunya bisa titip tanda tangan kok ya. Sekarang, sok selebritis ;-P Promo pertama Book launching tentu saja bisa terjadi bila didukung penerbit. Gramedia Pustaka Utama memiliki divisi yang cukup spesifik dan profesional. Mereka yang handle dealing dengan venue, keluar duit untuk snack dan nyiapin atribut promosi di tempat. Sebagai penulis, kita cukup menyediakan MC saja dan beli buku sendiri sebanyak 100 buah. It's not dificult. Buku itu toh bisa kita jual direct.

Here we go... dimulai dengan menyebarkan undangan

Acaranya. Syukurnya lumayan meriah! Undangan pada datang dan full :-D Saya malah lebih cenderung happy bisa melihat kumpulan teman-teman dan kerabat yang dekat dengan saya. Acara diisi dengan presentasi buku dan kuis ( yes, saya nolak acara yang isinya hanya bla-bla dari satu arah) Kuis berhadiah souvenir kecil yang saya tenteng dari Paris. Orang Gramedia bilang acara ini termasuk sukses dengan penjualan yang lumayan. Tuh kan penjualan lagi ujungnya haha

Beberapa pengunjung yang kelihatanya ambil foto. Berasa gimana gitu....


Promo berikutnya berlanjut beberapa hari setelah itu. Gramedia punya kerjasama dengan radio. Sindo Trijaya yang memiliki channel di seluruh Indonesia memawancara saya dalam siaran Penulis Bicara. Tanggapan dari orang-orang yang saya kenal lumayan mengejutkan. Ada yang ngomel karena saya muncul ketika dia lagi cari lagu di dalam mobil di tengah kemacetan. Malah ada juga yang bikin rekaman yang lalu di share di group whatsap. Actualy, i feel it's not that bad to play like a star wkwk. Saya dibikin suprise dengan perhatian yang besar dari kiri kanan yang tidak saya prediksi sebelumnya.


Setelah ini, saya kerjasama dengan seorang pengerak blog mengadakan program Give Away. Para pengejar 'buntelan' , istilah mereka mengejar buku gratis dimaksudkan membuat 'sound' di kalangan penikmat kata. Yah, asik melihat reaksi para peserta atas pertanyaan yang diajukan. Yuks ikutan! Masih berlangsung tuh! sd 22 Sept. Intip Facebook saya deh!


Sementara sekian dulu. Intinya: suka nulis adalah hal yang esensial tetapi kalau sudah melangkah sampai penerbitan, kamu harus siap muncul. Bagi saya, popularitas bukan tujuan utama, melainkan bonus saja. (Untungnya saya jauh dari tenar hihi) . Yang perlu diingat bahwa kita harus terus mawas diri karena di atas langit, masih ada langit. Show yourself like a cofee: at the rigth time with the rigth dose.

Thursday, June 18, 2015

Serge Atlaoui, Anggun dan Hukuman Mati

"Itu Anggun kenapa ya? Cari sensasi atau apa ya?"
"Ngomong-ngomong, kamu jangan ikutan Anggun ya, belain pengedar narkotik".
"Mukanya saja sudah kayak begini. Cocok Serge dihukum mati"
"Hukuman mati bukan pilihan yang terbaik. Sama saja dengan membenarkan pembunuhan."
Dan sebagainya
Dan sebagainya

Sosial Media terutama facebook penuh dengan status yang berkaitan dengan penolakan presiden Jokowi atas permintaan pembatalan hukuman mati terhadap Serge Atlaoui, satu warga Prancis yang divonis akibat pengedaran narkoba.

Image result for serge atlaoui

Terus terang, saya bukan jenis orang yang suka berdiskusi apalagi berdebat tentang hal yang serius-serius secara tertulis begini. Apalagi setahu saya, di sosial media, orang-orang kebanyakan gampang panas. Mungkin karena efek tulisan yang nadanya bisa diterjemahkan tergantung orang yang baca. Dan kebetulan saya juga orang yang sering kali nggak suka berpihak. Netral saja gitu. Sementara di situ, tendensinya, orang berkelompok-kelompok. Well, toh saya ada di sosial media.

Tapi karena saya orang Indonesia yang tinggal di Prancis, nggak luput beberapa pertanyaan mampir ke wall saya. Berhubung facebook di masa itu mainstream, jadi saya nulis di sini saja. Lebih bebas, Lebih konsumsi pribadi haha.

Beberapa point, yang menurut saya perlu dicermati dalam kasus ini:
1. Lain rumah, lain aturan. Begitulah Prancis dan Indonesia. Di Prancis, hukuman mati sudah dihapus sejak lama. Dari sekian banyak peraturan, penghapusan hukuman mati termasuk yang populer, bahkan mentri yang mengesahkan dan pencetus ide, sampai sekarang masih sangat terkenal. Selain itu, versi  yang beredar sangat berbeda dengan di Indonesia, Di Indonesia Serge dipercaya sebagai pemilik pabrik, sedangkan di Prancis Serge diberitakan sebagai teknisi. Jadi seolah dia adalah korban jebakan yang kemudian malah menanggung hukuman mati. Orang Prancis semakin bersimpati atas pengambaran dirinya yang merupakan kepala keluarga empat orang anak, kelas menengah dan pindah di negara kita karena alasan ekonomi. Berasa banget korbannya gitu.
    Ditambah lagi, beredar video tentang proses penjatuhan hukuman mati di Indonesia yang bisa saja salah orang.Kasus Yusman Telaumbanua

seorang yang dijebak membunuh dengan mafia pengadilan yang merubah umur si terdakwa. Kasus yang kemudian baru ketahuan setelah campur tangan mentri hukum kita. Orang Prancis tambah seram: ini negara kok bisa salah sih cabut nyawa orang? Membuat mereka lupa, bahwa di dunia ini nggak hanya Indonesia yang masih memperlakukan hukuman mati. Ada Malaysia bahkan Amerika.

  Ini link kasus tersebut bagi yang belum tahu.
https://www.youtube.com/watch?v=1_GZOxAQY-U

versi panjang

https://www.youtube.com/watch?v=41wmN8E4fPk

2. Secara garis besar, saya merasa bahwa hidup kita sangat disetir oleh media.
  Di periode yang sama, sebenarnya dunia juga berduka hebat. Ada gempa menimpa Nepal yang merenggut korban lebih dari ribuan orang. Kok bisa sibuk dengan satu orang saja? Ada di Afrika, pembantaian mahasiswa, jeder-jeder-jeder, nyawa 147 orang tak  berdosa melayang. Media diam saja. Lalu, bukan merendahkan arti sebuah nyawa, tetapi tidakkah semua itu jauh lebih penting?

3. Persoalan yang dianggap penting di setiap tempat berbeda.
Katakanlah di Prancis, penggunaan narkoba belum menjadi momok. Ada sih, tapi nggak seseram di Indonesia. Persoalan sosial di sini yang lebih mencolok adalah soal teroris yang disebut Jihadist. Atau sekalian tentang politik. Prancis juga sering heboh dengan kasus hilangnya anak. Satu anak hilang, bisa muncul di media selama seminggu.
  Saya sendiri pernah jadi saksi momok narkoba di Indonesia khususnya Jakarta. Ketika itu saya sedang magang dalam pendidikan profesi psikolog. Saya tiap hari datang di pusat rehabilitasi ketergantungan narkotika, di daerah Gatot Subroto. Pendidikan anak-anak yang tidur di barak-barak. Kalau malam, pintu ditutup dari luar. Keseharian mereka yang macam kehidupan militer, bangun, upacara dan segala rutinitas wajib. Plus, meski sudah begitu, memprihatinkan karena kebanyakan adalah anak orang kaya dengan orang tua yang nggak semuanya rajin jenguk mereka. So, intinya apa saya share ini? Intinya adalah bahwa problem narkotika di Indonesia, bukan bertitik di pengedar atau pabrik , tapi juga pendidikan dan pengawasan orang tua. Hmm so complicated, no?

4. Nggak usah jadi terfokus kalau yang ngomong adalah Artis.
  Mereka itu ahli nyanyi, main film, atau juri-juri lomba tampil tetapi sangat sedikit dari mereka ahli politik, hukum, ekonomi dan sejenisnya. So, why you bother with their opinion? Mereka memang punya pengemar banyak, didengar banyak orang. Donn't let them inject their personal thought for the subject that they don't really understand. Anggun is Anggun. She is not the expert for this kind issue.