Tuesday, September 7, 2010

Jasa Peramal Jodoh

Senja masih muda. Matahari baru saja beranjak pergi ke peraduannya. Reni terbaring dengan kaki digoyang gelisah. Tangannya tak henti melinting poninya yang sudah dari tadi kusut. Dia sedang di apartemen Lara, sahabatnya yang sudah dekat sejak 8 tahun lalu, sampai mereka saling memanggil 'teman tua'

« Sudahlah. Nggak usah terlalu dicemaskan » hibur Lara
« Maunya sih. Tapi gue cemas banget nih! Pasti tu bokap gue pake kesempatan ini buat ngocehin gue macam-macam. Mana gue nggak boleh ngomong sama Tante Leni lagi »
« Wah tumben percaya banget sama peramal hehe »
« Ah lo juga kan... Udah sampe mana tuh treatment yang lo jalanin. Gimana, udah belum dimandiin pake air kembang? »
« Sialan lo. Malah ngeledek. Iya sih. Parah tuh Tante Leni. Hidup kita jadi aneh gini. Gue sih udah ngomong sama eyang gue. Katanya minggu depan pas tanggal jawa bagus. Hmm »

Lara sekarang yang giliran mendesah. Sebenarnya mereka berdua bukanlah jenis orang yang dekat dengan dunia paranormal apalagi mempercayainya. Mereka selalu berhasil menolak ajakan teman-teman lajang di kampus maupun di tempat nongkrong, yang sering mengatakan bahwa perempuan yang sudah diatas 30 tahun dan masih jomblo, biasanya memiliki 'dosa' di tubuhnya. Dosa itu harus dibersihkan agar badan tidak 'kotor' dan jodoh jadi mendekat. Mereka berdua hanya menertawakan hal itu. Para paranormal pasti hanya mencari rejeki dari orang orang yang sedang resah oleh desakan lingkungan. Lagipula, kalau jodoh belum datang, apa salahnya jadi jomblo? Toh setiap hal selalu ada sisi positifnya. Paling tidak yang namanya single, punya kebebasan lebih banyak.

Tante Leni di datangi oleh Lara 3 bulan lalu. Lara terjebak teman fitnessnya yang meminta dengan sangat supaya ditemani, dengan alasan tempat Tante ini dekat, sekalian menunggu kelas gym berikutnya. temannya berpromosi, bila kemampuan ramal kartu tante ini menakjubkan. Paling tidak begitu beberapa orang di kantornya bercerita.

Sampai di sana, Lara yang tadinya hanya duduk disamping sahabatnya yang sedang diramal, akhirnya tertarik mencoba garis nasibnya dibaca.

« Kok bisa lo ikutan? » Tanya Reni dua hari setelahnya kepada Lara
« Abis ajaib banget. Itu tante bisa tau kalo sohib gue itu nggak pernah sholat. Nggak akur sama ibunya. Padahal dia belum cerita apa apa. Jadi gue pikir, kenapa nggak sekalian. Toh cuman di baca kartu doang. Lagipula kelihatannya si Tante ini bukan paranormal 'tukang peres'. Nggak ada tuh yang disuruh mandi kembang, kirim bunga ke kuburan atau apakek »
« Hehe. Yah, bikin penasaran juga ye »
« Iye. Nah problemnya, gue pikir gue cuman di suruh sholat kayak temen gue. Kan gampang tuh. Gue kan emang nggak terlalu terikat sama upacara gitu. Mending jalan Islam lah »
« Iye elo gitu lho. Tahun baruan aja malah ke pesantren!  Haha »
« Nah. Ini malah gue disuruh mandi kembang! Gue sekarang lagi mikir berat nih. Gue jalanin apa nggak. Kata si tante, gue musti mendekat sama akar gue. Di keluarga gue ada yang punya kemampuan spiritual lebih. Itulah yang bikin gue kaget! Kan eyang gue benernya sudah nawarin itu ke gue dari lama tapi gue cuekin. Terus, itu tante pembukaannya aja langsung bilang kalo gue berdarah biru! Gila! Gue kan paling anti tuh ketahuan. Jaman modern gini »
« Hah! Lo orang keraton emangnya? »
« hehehehe... iye. Nyokap gue turunan langsung salah satu pangeran di keraton Yogya »
« Hah! Jangan bilang gue lo, kalo lo keturunan yang lingkupnya di dalam lingkaran keraton?! »
« hehe... iya... gelar nyokap gue Raden Ajeng»

Selanjutnya, bisa di tebak. Reni beralih merengek-rengek agar di ajak ke tempat Tante Leni itu. Perasaannya tergelitik. Dia ingin tahu jenis ramalan yang diperuntukkan baginya. Apalagi saat itu sebenarnya dia punya projek: mencoba mendapatkan calon suami dari benua lain, yang kulitnya berwarna putih.

Reni tidak bisa melupakan saat saat itu. Tante Leni memainkan kartunya. Pembukaannya persis sama dengan ringkasan hidupnya. Berbagai pria pergi, yang semuanya Renilah yang memutuskan. Kata Tante mereka memang bukan jodohnya, selalu ada perselisihan yang sangat prinsip. Lanjutan ramalan, semakin membuat Reni terbelalak. Dia sengaja tidak bercerita banyak kepada Tante, tetapi kartunya bisa mengungkap hal yang penting dan pribadi. Dalam hati Reni juga berdebar karena ada ketakutan dia akan disuruh mandi bunga atau sholat. Keduanya bukan hal yang sanggup menarik minatnya.

« Engkau akan berhubungan dengan orang jauh. Dari Sumatra atau mungkin luar negeri » « Hubungan kalian akan pakai surat dan pos »
« Email termasuk kali ya Tante » Ingatannya melayang kepada pacarnya sekarang yang berada di Amerika, ribuan kilometer jauhnya. Hebat nih tante, batinnya. « Bakal lanjut serius nggak Tante? » tanyanya gusar.
« Bisa. Tapi ada satu hambatan. Dalam dirimu »
Dukces! Jantung Reni serasa meloncat. Inilah 'moment of the truth' yang mengarahnya pada sebuah titah yang harus dilakoninya.
« hmm. Kalo aku musti ngapain tante? »
« Kamu punya ganjalan nih, hubunganmu dengan ayahmu penuh amarah. Kamu musti sujud di depannya. Dia duduk, kamu sungkem. Kamu cuci kaki ayahmu dengan air bersih. Nanti airnya kamu minum sedikit dan kamu harus dengarkan apa yang dia katakan. Waktunya harus di tengah malam... Gimana, ngerti nggak? Karena restu orang tua itu hal yang nggak bisa ditawar»
« Hmm... ngerti Tante... eeee.... » Reni hilang kata.
Saat Tante sempat menanyakan mandi kembang bagi Lara, pikiran Reni sudah berkelana kemana-mana. SUNGKEM KEPADA PAPA? Ini jauh lebih parah daripada harus mandi bunga atau pun sholat dan berpuasa.
Papa.... Gumamnya dalam hati

Papa bagi Reni bukan sosok orang tua yang biasa. Sosok orang tuanya yang satu ini sulit didefiniskan olehnya. Disatu waktu ayahnya tampak sayang padanya, di lain waktu perilakunya sering membuat Reni merasa dikhianati. Dia tidak pernah bisa memaafkan saat papanya menjalin affair yang sempat membuat mamanya sakit sakitan. Setelah itu berlalu, ada saja yang dilakukan papanya itu. Judi, Alkohol seperti lupa pada keluarga. Meski sekarang papanya sudah insaf dan menunjukkan itikadnya untuk hidup lurus, Reni tetap tidak bisa berdamai. Tidak pula saat mamanya pergi ke Ilahi, tidak pula sekarang.

Tanpa perlu dibahaspun, kedua orang ini saling tahu bahwa mereka memendam emosi. Reni marah secara tertahan kepada sang ayah. Sang ayah mengetahui tetapi seakan akan tidak tahu bagaimana harus membawanya ke suasana dialog. Dan memang begitulah yang terjadi.

Selama ini Reni selalu menghindari kontak pribadi dengan papanya. Saat mereka bersama di depan televisi atau meja makan, pembicaraan lebih bersifat global macam politik dan ekonomi. Hanya sesekali papanya menasehatinya untuk lebih serius mencari jodoh, karena umurnya sudah 'tinggi'. Tetapi Reni hanya mendengus. Orang ini bukan orang yang tepat untuk menasehatiku lagi, bisik kepada dirinya marah.

Begitulah sifat hubungan mereka selama bertahun-tahun sampai kartu Tante berbicara. Sampai Reni mempercayainya dan takut atas kemungkinan buruk yang terjadi bila tidak dilaksanakannya. Dia mulai mencintai pacar jauhnya dan berharap banyak pada hubungan mereka.

Di hari yang sama dengan pembicaraan gelisahnya dengan Lara. Reni bertanya kepada papanya dengan canggung, tentang kesediaannya menjalankan ritual sungkem ini. Tak dinyana, orang tua itu menyambutnya dengan bersemangat.
« iya. Kenapa tidak?! Nanti kamu siapin aja ya »
Sungguh reaksi yang membuat Reni gelisah berat dan langsung meluncur ke apartemen Lara. Dia sudah membayangkan akan adanya sebuah pidato yang tidak bisa dibantahnya. Dia tidak akan terima bila ada perkataan yang nantinya hanya akan menambah marahnya. Orang tua patriakan itu. Jelas jelas dia akan memanfaatkan situasi ini. Dia pernah bicara kalau orang tua tidak penah salah. Bah. Umpatnya dalam hati

Kembali dari tempat Lara, beberapa jam kemudian, saat senja sudah pergi dan bulan bersinar diatas langit. Tengah malam. Reni menjinjing baskom yang berisi sedikit air Aqua. Sudah disiapkannya sebuah bangku di tengah ruangan, dengan bersungut-sungut. Dia harus mengulang-ulang dua kata 'Harus Rela. Harus Rela'
« Pa. Waktunya » katanya mengetuk kamar
« Iya. Papa sudah siap »
Kemunculan orang tua itu begitu mengagetkannya. Wajahnya tidak hanya segar meski tampak belum tidur tetapi juga cerah. Baru sekali dilihatnya wajah secerah ini yaitu saat dia lulus masuk perguruan tinggi negeri.
« Papa duduk sini ya. Kamu sungkem kapan saja Kamu siap »
Reni pun berlutut. Kepalanya ditundukkannya. Jantungnya berdetak keras, berlomba dengan otaknya yang berkonsentrasi untuk menyuruh mulutnya agar tahan tertutup.
« Saat begini yang Papa tunggu dari dulu. Sebagai anak, kamu memang harus minta restu orang tua. Semoga Kamu mendapat apa yang kamu sedang inginkan. Papa selalu mendukung. Papa juga selalu berharap agar kamu bahagia. » dan berbagai kata kata restu lainnya yang tanpa cacat. Reni tercekat dalam tunduknya. Meski tak ada penjelasan ataupun maaf yang keluar dari mulut manusia dihadapannya, tetapi luapan ketulusan terpancar sempurna. Dia merasakan ketulusan hati ayahnya. Diam-diam matanya berair. Ingatannya melayang disaat dia ditimang, di lempar tinggi tinggi, di belikan mainan. Tak disangka perasaan itu begitu indah dan teduh, mengusir pergi amarah yang terpendam. Membuatnya lupa atas segala tuntutan perilaku ayahnya dulu. Membuatnya tak hirau kalaupun suaminya bukan pacarnya yang ini. Dia merasa sebagai anak yang berbahagia. Teduh. Utuh. Diberkati segala langkahnya. Bukankah itu sudah cukup?

Papa, aku memaafkanmu. Terimakasih teman tua, terimakasih tukang ramal kartu.

Reni pun berangkat ke peraduannya dengan senyum.

No comments: